Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wajah Pucat Demokrasi Amerika Pasca Trump

Tantangan Presiden Joe Biden sangat berat. Di satu sisi, dia harus menetralisasi atau bahkan membersihkan sisa-sisa pengaruh pemerintahan Trump. Pada titik lainnya, Biden harus membuktikan janji-janji politiknya, yang bisa dikatakan adalah pembalikan dari jurus pendahulunya.
Presiden AS Joe Biden di tangga pesawat kepresidenan AS, Jumat (12/2/2021)./Antara/Reuters-Joshua Roberts\r\n
Presiden AS Joe Biden di tangga pesawat kepresidenan AS, Jumat (12/2/2021)./Antara/Reuters-Joshua Roberts\r\n

Bisnis.com, JAKARTA – Era Joe Biden sudah bergulir. Namun apakah memang sisa-sisa pemerintahan Donald Trump sudah bersih dari Gedung Putih maupun pilar-pilar penting lainnya dalam peta kekuasaan di Amerika Serikat?

Prediksi Levitsky dan Ziblatt (2018) ada benarnya ketika kedua pakar politik asal AS ini mencoba memetakan wajah Amerika pasca Trump.

Mereka melihat ada tiga kemungkinan terkait dengan hal itu. Pertama, hal ini dipandang paling optimistis yaitu pemulihan demokrasi yang berlangsung dengan cepat.  Dalam skenario ini, Trump gagal secara politis.

Artinya, dia kehilangan dukungan masyarakat, sehingga tidak terpilih kembali. Adapun untuk pemakzulan terhadap Presiden AS periode 2016—2020 itu, kemungkinan yang dikemukakan kedua analis politik terkemuka itu tidak terjadi.

Demikian pula untuk pengunduran diri secara paksa, karena Trump berkuasa secara penuh dalam empat tahun masa kepresidenannya.

Hal yang menarik adalah ketika analisis Levitsky dan Ziblatt dibuat dua tahun setelah presiden asal Partai Republik itu berkuasa, keduanya sudah memperkirakan secara cukup meyakinkan bahwa keruntuhan kepresidenan Trump dan kemenangan perlawanan terhadap dirinya membuat Partai Demokrat (asal kekuatan politik Presiden Joe Biden) kuat.

Dengan demikian, partai tersebut akan berkuasa kembali dan membatalkan kebijakan-kebijakan Trump yang paling buruk. Hal ini telah dibuktikan dalam hasil pemilihan presiden AS pada awal November 2020.

Dalam pertarungan yang ketat, bahkan hingga menimbulkan polarisasi yang sangat runcing dalam perpolitikan di Amerika, Biden akhirnya mampu mengkandaskan  ambisi Trump untuk berkuasa kedua kalinya.

Dalam kata-kata Levitsky dan Ziblatt: “Reputasi Amerika di dunia bakal segera pulih. Masa Trump bakal diajarkan di sekolah, dikenang dalam film, dan disebut-sebut di karya sejarah sebagai era kesalahan tragis ketika bencana dihindari dan demokrasi Amerika selamat.”

Tak lama setelah dilantik, Biden langsung tancap gas untuk memulihkan dan memperkuat citra Amerika di dalam maupun luar negeri.

Dalam hal pemulihan ekonomi yang terdampak sangat dalam akibat pandemi Covid-19 misalnya, Biden akhirnya menandatangani bantuan atau stimulus ekonomi senilai US$1,9 triliun atau setara Rp27.196 triliun menjadi undang-undang.

Bantuan ini merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah Amerika. Kucuran stimulus ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak pandemi Covid-19.

Payung hukum itu mencakup bantuan US$1.400, perpanjangan tunjangan pengangguran, dan kredit pajak anak yang diharapkan dapat mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan.

Joe Biden menegaskan bahwa paket bantuan akan membangun kembali ‘tulang punggung negara ini’. RUU Pengeluaran, salah satu yang terbesar dalam sejarah AS, disahkan Kongres tanpa satu pun pendukung dari Partai Republik.

Harus diakui hal itu merupakan langkah berani yang diambil oleh Presiden AS ke-46 itu. Paket bantuan Covid-19 keenam ini adalah kemenangan legislatif paling besar bagi Biden.

Paket stimulus ekonomi tersebut memang sangat ditunggu warga Amerika. Dari jajak pendapat March Pew Research Center terungkap bahwa 70% orang dewasa AS yang disurvei menyatakan dukungan untuk RUU Stimulus tersebut, termasuk 41% dari Partai Republik.

Tantangan Biden sangat berat. Di satu sisi, dia harus menetralisasi atau bahkan membersihkan sisa-sisa pengaruh pemerintahan Trump. Pada titik lainnya, Biden juga harus membuktikan janji-janji politiknya selama kampanye, yang bisa dikatakan adalah pembalikan dari jurus pendahulunya.

Apakah dengan demikian dalam empat tahun mendatang akan muncul ‘wajah baru Amerika yang lebih bersahabat bagi dunia’ dalam konteks global dan politik yang lebih demokratis di level domestik?

Apa yang disampaikan Levitsky-Ziblatt agaknya patut kita cermati. Menurut mereka, serangan terhadap norma-norma demokrasi lama—dan polarisasi yang mendasarinya—sudah terjadi jauh sebelum Donald Trump berkuasa di Gedung Putih.

Pagar lunak demokrasi Amerika sudah melemah selama puluhan tahun. Alhasil, sekedar mencopot Trump atau munculnya Biden sebagai pemenang tidak akan secara ajaib memulihkannya.

Boleh jadi masa kepresidenan Trump kuat dipandang sebagai penyimpangan sementara dengan sedikit bekas pada institusi-institusi AS. “Mengakhirinya barangkali tak cukup untuk memulihkan demokrasi.” 

Lagi-lagi, demokrasi Amerika tanpa pagar yang solid masih tetap rentan dengan polarisasi sebagai potensi ancaman paling nyata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper