Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah negara barat menerapkan sanksi untuk menekan militer Myanmar menghentikan aksi kekerasan kepada pengunjuk rasa setelah empat orang tewas.
Namun, Asean sebagai 'keluarga' terdekat justru belum memperlihatkan respons yang kentara.
Unjuk rasa Myanmar semakin memanas di seluruh penjuru negeri setelah dua orang tewas di Mandalay pada Sabtu (20/2/2021) ketika polisi berusaha membubarkan demonstran yang menentang kudeta militer.
Seorang lelaki tewas karena luka parah di kepala dan seorang lainnya tertembak di bagian dada.
Sementara wanita bernama Mya Thwate Thwate Khine, yang sempat mendapat perawatan di rumah sakit akibat tertembak di bagian kepala pada 9 Februari, akhirnya meninggal 10 hari setelahnya. Seorang polisi juga meninggal akibat terluka parah dalam aksi protes.
Sontak hal tersebut langsung mendapatkan kecaman dari berbagai negara untuk melawan tindakan yang melukai hak asasi manusia rakyat Myanmar.
Negara-negara besar langsung tegas menetapkan sanksi bagi Myanmar. Yang pertama adalah Amerika Serikat.
"Saya telah menyetujui perintah eksekutif baru yang memungkinkan kami untuk segera memberikan sanksi kepada para pemimpin militer yang mengarahkan kudeta, kepentingan bisnis mereka, serta anggota keluarga dekat," kata Presiden Joe Biden seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (11/2/2021).
Presiden Biden menerapkan sanksi baru yang menargetkan 10 anggota militer Myanmar yang dianggap bertanggung jawab pada kudeta yang terjadi, termasuk Panglima militer Min Aung Hlaing and Wakil Panglima Soe Win.
Tiga entitas termasuk Ruby Enterprise dan Myanmar Imperial Jade Co., LTD. yang berada di bawah pengawasan militer Burma.
Departemen Perdagangan juga telah mendapat instruksi untuk melakukan pembatasan ekspor terhadap produk sensitif untuk tujuan yang berhubungan dengan militer ke Myanmar. AS memastikan restriksi ekspor akan memutus akses teknologi AS.
AS juga mencegah para jenderal mengakses lebih dari US$1 miliar dana pemerintah Burma yang disimpan di Amerika Serikat.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab mengatakan bakal membekukan aset dan melarang masuk tiga anggota militer Myanmar. Sanksi ini termasuk berlaku bagi 16 individu yang sudah masuk dalam daftar.
“Kami, bersama sekutu internasional kami akan meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas pelanggaran hak asasi manusia dan mengejar keadilan bagi rakyat Myanmar,” katanya dalam pernyataan resmi pada Kamis (18/2/2021).
Keputusan sanksi tersebut dilakukan bersamaan dengan Kanada. Menteri Luar Negeri Marc Garneau mengatakan sanksi baru ini adalah upaya untuk mendorong perubahan positif di Myanmar.
Sejak Kebijakan Tindakan Ekonomi Khusus (Burma) tahun 2007, Kanada masih mempertahankan sanksi bagi beberapa nama yang dianggap melanggar HAM. Dengan demikian, terdapat 54 nama yang masuk dalam daftar sanksi. Selain itu, Kanada juga menerapkan embargo perdagangan senjata dan material, serta bantuan teknis dan keuangan.
Sikap Asean
Sementara negara barat leluasa menerapkan sanksi, Asean justru dihadapkan dilema melihat anggota mereka menghadapi situasi sulit.
Hingga saat ini belum ada pernyataan dari Asean terkait dengan penembakan tersebut.
Pakar hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan keadaan di Myanmar saat ini menempatkan Indonesia pada posisi dilematis seiring tekanan pihak eksternal Asean dengan alasan demokratisasi dan HAM.
Namun, secara tidak langsung mereka justru memaksa pimpinan militer di Myanmar mencari keseimbangan baru dengan lebih mendekatkan diri mereka ke China.
Sebagai tetua di Asean, Indonesia terpaksa merancang berbagai skenario, demi terciptanya sebuah posisi bersama yang memungkinkan pimpinan di Myanmar sadar diri, dan bersedia melakukan rekonsiliasi dengan kalangan sipil.
“Sanksi dari Kanada dan Inggris hanya efektif dalam jangka pendek. Namun China Akan memenuhi semua kebutuhan Myanmar akibat sanksi tersebut,” katanya saat dihubungi Bisnis, Minggu (21/2/2021).
Kendati demikian, Asean tidak mungkin mengungkapkan sikap yang terlalu mencolok. Sesuai prinsip yang telah disetujui dalam Asean Charter, maka seluruh negara dalam Asean termasuk Indonesia akan bersikap normatif dan diplomatis.
"Dalam keadaan kritis seperti ini, para pemimpin sadar akan pentingnya stabilitas Asean, sehingga tidak akan mengkritik kalangan militer di Myanmar," ungkapnya.
Dilansir dari South China Morning Post, Kementerian Luar Negeri Singapura menyebut tindakan penggunaan senjata untuk melawan rakyat Myanmar tidak bisa dimaafkan.
“Penggunaan senjata mematikan terhadap warga sipil tak bersenjata tidak bisa dimaafkan. Kami mendesak pasukan keamanan untuk menahan diri sepenuhnya untuk menghindari cedera lebih lanjut dan hilangnya nyawa, dan segera mengambil langkah-langkah untuk meredakan situasi dan memulihkan ketenangan,” kata seorang pejabat.
Tanpa Campur Tangan
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan Asean berprinsip untuk tetap menghormati prinsip non-interference (tanpa campur tangan) dan mengutamakan constructive engagement (keterlibatan konstruktif).
Solusi terbaik harus mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar, termasuk membantu transisi demokrasi yang melibatkan semua stakeholders atau transisi demokrasi secara inklusif.
“Indonesia yakin bahwa mekanisme Asean adalah mekanisme yang paling tepat untuk dapat membantu Myanmar, sekali lagi, dalam mengatasi situasi yang sulit ini,” katanya saat kunjungan ke Brunei Darussalam pekan lalu.
Menlu Retno mengungkapkan dirinya terus melakukan komunikasi dengan Menlu Asean serta Menlu dari banyak negara, termasuk Utusan Khusus Sekjen PBB untuk isu Myanmar.
Sementara itu, organisasi non pemerintah asal New York, Human Rights Watch menilai sanksi dan tindakan untuk melawan pelanggar hak asasi akan sangat efektif dan masuk akal jika dilakukan secara multilateral.
Dewan Keamanan PBB harus mengeluarkan resolusi yang memberlakukan sanksi yang didukung oleh anggotanya secara internasional. Dewan PBB juga harus memberlakukan embargo senjata yang komprehensif di Myanmar.
“Majelis Umum PBB juga dapat mendukung pemerintah individu atau organisasi regional untuk menjatuhkan sanksi sepihak kepada militer Myanmar, sesuatu yang telah dilakukan Majelis Umum di masa lalu [misalnya Afrika Selatan selama apartheid],” seperti dikutip dari laman resminya.
Kendati demikian, negara-negara harus memastikan sanksi tidak akan melukai rakyat Myanmar.