Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Segera Bekukan Aset Militer Myanmar Senilai Rp13,9 Triliun

Presiden AS Joe Biden telah menyetujui perintah eksekutif untuk sanksi baru terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kudeta militer di Myanmar.
rnPersonel militer berjaga di titik pemeriksaan di jalan yang menuju kompleks gedung Parlemen di Ibu Kota Naypritaw, Myanmar, Senin (1/2/2021). Junta Militer Myanmar yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing mengumumkan pengambilalihan kekuasaan dan pemberlakuan status darurat nasional selama setidaknya satu tahun./Antara-Reutersrn
rnPersonel militer berjaga di titik pemeriksaan di jalan yang menuju kompleks gedung Parlemen di Ibu Kota Naypritaw, Myanmar, Senin (1/2/2021). Junta Militer Myanmar yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing mengumumkan pengambilalihan kekuasaan dan pemberlakuan status darurat nasional selama setidaknya satu tahun./Antara-Reutersrn

Bisnis.com, JAKARTA - Amerika Serikat mengambil langkah tegas untuk menyikapi kudeta pemerintahan Myanmar oleh militer yang terjadi pada 1 Februari 2021.

Presiden AS Joe Biden bahkan dikabarkan, pada Rabu (10/2/2021) waktu setempat, telah menyetujui perintah eksekutif untuk sanksi baru terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kudeta militer di Myanmar.

Biden juga mengulangi tuntutan agar para jenderal Myanmar menyerahkan kekuasaan dan membebaskan para pemimpin sipil.

Perintah eksekutif memungkinkan pemerintahan Joe Biden untuk segera memberi sanksi kepada para pemimpin militer yang mengarahkan kudeta, kepentingan bisnis mereka, serta anggota keluarga dekat.

Biden mengatakan Amerika akan mengidentifikasi daftar pertama sanksi minggu ini dan akan mencegah para jenderal di Myanmar mengakses US$1 miliar (Rp13,9 triliun) uang yang disimpan di Amerika Serikat.

"Kami juga akan memberlakukan kontrol ekspor yang kuat. Kami membekukan aset AS yang menguntungkan pemerintah Burma, sambil mempertahankan dukungan kami untuk perawatan kesehatan, kelompok masyarakat sipil, dan area lain yang secara langsung menguntungkan rakyat Burma," kata Biden di Gedung Putih pada Rabu.

Biden menegaskan bahwa AS akan siap untuk memberlakukan tindakan tambahan. Bahkan, AS akan akan mendesak negara lain untuk bergabung dengan upaya tersebut.

Kudeta 1 Februari, yang menggulingkan pemerintahan sipil terpilih Aung San Suu Kyi, terjadi kurang dari dua minggu setelah Biden menjabat.

Kudeta Myanmar memberi krisis internasional besar pertama Joe Biden, dan sebagai ujian awal dari janji kampanye untuk memusatkan kembali hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri dan bekerja lebih dekat dengan sekutu.

Biden mengatakan krisis Myanmar merupakan keprihatinan yang mendalam bagi AS. "Saya kembali menyerukan kepada militer Burma untuk segera membebaskan para pemimpin dan aktivis politik yang demokratis," katanya. Militer harus melepaskan kekuasaan yang direbutnya.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan Washington sedang melakukan tindakan kolektif dengan para mitranya di Myanmar. "Kami sendiri dapat mengenakan konsekuensi yang cukup besar. Kami dapat mengenakan konsekuensi yang bahkan lebih keras...dengan bekerja sama dengan mitra dan sekutu yang berpikiran sama," katanya.

Negara-negara Barat telah mengutuk kudeta tersebut, tetapi analis mengatakan militer Myanmar tidak akan terisolasi seperti di masa lalu, dengan China, India, tetangga Asia Tenggara dan Jepang, tidak mungkin memutuskan hubungan karena kepentingan strategis negara itu.

Derek Mitchell, mantan duta besar AS untuk Mynamar, mengatakan sangat penting untuk melibatkan negara-negara seperti Jepang, India, dan Singapura dalam memberikan repons yang kuat.

"Kuncinya bukan hanya apa yang dilakukan Amerika. Ini akan menjadi cara kita mengajak orang lain bersama kita, sekutu yang mungkin memiliki lebih banyak kekuatan dalam permainan, lebih berpengaruh, atau setidaknya hubungan yang lebih baik dengan para pemain inti," kata Mitchell.

Badan hak asasi manusia tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mempertimbangkan resolusi pada hari Jumat yang dirancang oleh Inggris dan Uni Eropa yang mengutuk kudeta dan menuntut akses segera bagi pemantau internasional ke Myanmar.

Namun, para diplomat mengatakan China dan Rusia, yang keduanya memiliki hubungan dengan angkatan bersenjata Myanmar, diperkirakan akan mengajukan keberatan atau melemahkan draf resolusi PBB.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Sumber : Tempo/Reuters
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper