Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengenang Pramoedya Ananta Toer, Anak Guru yang Diasingkan di Pulau Buru

Kendati telah berpulang pada 30 April 2006 di Jakarta, nama penulis novel fenomenal Bumi Manusia ini pun masih lekat dengan ingatan masyarakat Indonesia.
Ilustrasi foto Pramoedya Ananta Toer/Antara
Ilustrasi foto Pramoedya Ananta Toer/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Tepat 96 tahun yang lalu, Pramoedya Ananta Toer dilahirkan di Blora, Jawa Tengah. Ya, pengarang novel termasyhur ini lahir pada 6 Februari 1925 sebagai anak sulung dari seorang guru di Rembang.

Kendati telah berpulang pada 30 April 2006 di Jakarta, nama penulis novel fenomenal Bumi Manusia ini pun masih lekat dengan ingatan masyarakat Indonesia. Hal itu setidaknya terungkap dari unggahan warganet di media sosial Twitter pada hari ini, Sabtu (6/2/2021) yang merupakan hari jadi Pramoedya.

Penulis Indonesia Eka Kurniawan, misalnya, turut mengenang sastrawan yang diasingkan oleh pemerintahan Orde Baru itu melalui akun Twitter resminnya, @gnolbo. Penulis yang meraih Prince Claus Awards ini pun berharap buku-buku Pramoedya bisa terbit kembali.

"Selamat ulang tahun, Pramoedya Ananta Toer. Mudah2an buku2mu jauh lebih mudah diperoleh, semua bukumu terbit kembali. Juga berharap ada reissue karya2nya dlm bhs Inggris (edisi clothbound macam Everyman's Library sih ngarep banget). "Keluarga Gerilya" diterjemahin. Bnyk ngarep," tulisnya via akun sosial media tersebut.

Para warganet pun turut mengenang sosok Pramoedya dengan mengunggah sejumlah kalimat atau dialog dalam novel karyanya. Bumi Manusia, yang merupakan satu dari empat (Tetralogi Pulau Buru), menjadi salah satu novel yang sering dikutip warganet.

"Diam kau monk... Minke!" Sejak itu seluruh klas, yang baru mengenal aku, memanggil aku Minke, satu-satunya Pribumi," demikian akun @dadangrhs mengutip dialog dalam Bumi Manusia yang mendeskripsikan prasangka rasial terhadap Bumiputera di era kolonial.

Pada tahun lalu, novel Bumi Manusia ini diangkat ke layar lebar. Disutradarai oleh Hanung Bramantyo, film tersebut dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan, Mawar Eva de Jongh, dan Sha Ine Febriyanti.

Film itu cukup sukses menarik minat penonton dan diperbincangkan masyarakat, termasuk generasi milenial. Bahkan, Falcon Pictures rumah produksi film Bumi Manusia berencana menggarap satu lagi film yang diadaptasi dari novel karya Pramoedya, yakni Perburuan.

Lantas siapakah tokoh ini dan bagaimana sebenarnya latar belakang Pramoedya, apa yang membuatnya diasingkan di Pulau Buru serta bagaimana apresiasi masyarakat global terhadap karyanya? Berikut ini catatan singkat mengenai profil Pramoedya Ananta Toer:

Melepaskan Kebangsawanan

Dikutip dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Pramoedya yang merupakan anak sulung dari delapan bersaudara itu bernama asli Pramoedya Ananta Mastoer. Namun, suku kata 'Mas' pada nama keluarga itu kemudian dilepaskannya lantaran dinilai terlalu 'ningrat'.

Pramoedya merupakan anak dari Mastoer Imam Badjoeri, seorang guru yang awalnya bertugas di HIS Rembang dan kemudian menjadi guru sekolah swasta Boedi Oetomo serta menjadi kepala sekolah. Ibunya merupakan anak penghulu di Rembang.

Dia menamatkan sekolah rendah atau sekolah dasar di Instituut Boedi Oetomo Blora, sebelum satu setengah tahun mengenyam pendidikan di sekolah teknik radio Surabaya (Radiovakschool Surabaya) pada 1940 - 1941. Sayangnya, Pramoedya tak memiliki ijazah dari sekolah itu lantaran ijazah yang dikirimkannya ke Bandung untuk disahkan tak pernah kembali akibat kedatangan Jepang ke Indonesia pada awal 1942.

Pada Mei 1942, Pramoedya meninggalkan Rembang dan Blora untuk pergi ke Jakarta dan bekerja di Kantor Berita Domei. Sambil bekerja, dia mengikuti pendidikan di Taman Siswa  pada 1942 - 1943, kemudian melanjutkan kursus di Sekolah Stenografi pada 1944 - 1945.

Pada 1945, Pramoedya juga mengambil kuliah mata kuliah Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta. Pada tahun itu pula, dia keluar dari Kantor Berita Domei dan pergi menjelajahi Pulau Jawa.

Ternyata, Pramoedya pernah menjadi anggota militer. Pada 1946, dia ikut menjadi prajurit resmi sampai mendapat pangkat Letnan II Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang ditempatkan di Cikampek, dengan sekutu Front Jakarta Timur. 

Dia bahkan pernah ditahan militer Belanda di Cipinang ketika dia kembali ke Jakarta pada 1947 melalui penyusupan. Lagi-lagi pada 22 Juli 1947, dia ditangkap marinir Belanda karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah menentang Belanda. Dia dipenjarakan tanpa diadili di penjara Bukit Duri sampai 1949.

Beralih dari tugas kemiliteran, Pramoedya bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka pada 1950 - 1951. Pada tahun itu pula, dia  menerima hadiah sastra dari Balai Pustaka atas novelnya yang berjudul Perburuan.

Pada tahun itu, Pramoedya juga menikah dengan wanita yang sering datang ke penjara ketika Pram berada di penjara, yang masih keluarga dekat, Husni Thamrin. Setahun kemudian, Pramoedya Ananta Toer mendirikan dan memimpin Literary dan Features Agency Duta sampai tahun 1954.

Kisah Baru di Pulau Buru

Pramoedya sungguh kagum dengan kejayaan Revolusi China dalam berbagai bidang, terutama setelah dia berkunjung ke Peking pada 1956 untuk menghadiri peringatan hari kematian Lu Shun, sosok yang dipandang sebagai pendiri sastra moderen di negeri Tirai bambu.

Pada 1958, Pramoedya akhirnya bergabun dan menjadi anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Alhasil, keputusan itu membut dia mesti berseberangan dengan seniman golongan lain yang tidak sealiran, terutama kelompok seniman penanda tangan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang menentang PKI.

Pada 1962, dia menjabat redaktur Lentera dan juga bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Res Publika, Jakarta.

Tak dinyana, meletusnya gerakan 30 September 1965 (Gestapu/PKI) menjadi awal baru yang penuh pilu bagi kehidupan Pramoedya. Dia mendapatkan penghinaan dan perlakuan yang kejam saat ditangkap gerombolan pemuda bertopeng pada 13 Oktober 1965.

Pendengarannya rusak karena dipukul dengan tommygun pada bagian kepalanya. Setelah itu, dia dipenjarakan di beberapa rumah tahanan mulai dari Tangerang, Salemba, Cilacap, hingga sepuluh tahun hidup dalam pengasingan di Pulau Buru.

Pramoedya
Pramoedya

Pramoedya Ananta Toer/Youtube

Kembali dari pengasingan di Pulau Buru, Pramoedya menghasilkan beberapa buku yang pada umumnya dilarang oleh pemerintahan Orde baru. Buku karyanya dilarang beredar lantaran dianggap pro-komunis.

Namun, di luar negeri buku-buku itu terbit dan beredar luas. Bahkan, buku-buku tersebut diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan Belanda.

Buku-buku yang dilarang adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995) II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000).

Namun, sejak keruntuhan Orde Baru, larangan tersebut tak berlaku lagi. Kini, siapa pun mereka bisa dengan bebas menikmati karya-karya Pramoedya.

Beberapa tahun terakhir ini sejumlah buku Pramoedya Ananta Toer yang semula dilarang beredar diterbitkan kembali oleh penerbit Hasta Mitra. Buku-buku tersebut, antara lain, adalah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, serta buku-buku Pramoedya yang ditulis tahun 1950-an, seperti Cerita dari Blora, Perburuan, Korupsi, Keluarga Gerilya, dan Panggil Aku Kartini Saja.

Karya-karyanya yang terbit pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, antara lain  Mangir (2000), Kronik Revolusi I, II (1999), III (2000), Cerita-Cerita dari Digul (2001), dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (2001).

Pramoedya memperoleh 16 penghargaan, termasuk Penghargaan Balai Pustaka pada 1951 dan hadiah Magsaysay dari Filipina pada 1995. Dia pun mendapat penghargaan PEN International pada 1998 dan gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan pada 1999, Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka) Jepang pada 2000, dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia.

Pramoedya wafat pada 30 April 2006, pada usia 81 tahun, setelah berjuang melawan radang paru-paru, komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.

Kendati begitu, dengan kisah panjang dan apresiasi yang diberikan masyarakat global tersebut, patutlah Pramoedya untuk tetap dikenang.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” demikian barisan kalimat Pramoedya yang sering dikutip masyarakat Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper