Bisnis.com, JAKARTA — Asean dan Uni Eropa memulai putaran pertama Asean - EU Joint Working Group on Vegetable Oil untuk menyepakai standar keberlanjutan minyak nabati.
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan bahwa pertemuan tersebut penting dalam menyepakati standar keberlanjutan seluruh minyak nabati dalam kerangka sustainable development goals (SDGs) memenuhi permintaan dunia.
“Semua punya standar masing-masing tapi dengan parameter dan platform yang sama dikaitkan dengan SDGs. Lalu, dilakukan mutual recognitions satu dengan lainnya,” katanya kepada Bisnis, Jumat (29/1/2021).
Asean dan Uni Eropa (UE) kerap menghadapi persaingan dalam produksi minyak nabati. Asean termasuk Indonesia mengandalkan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan.
Di sisi lain, Uni Eropa mengedepankan penggunaan rapeseed, minyak kedelai, bunga matahari hingga minyak zaitun. Eropa juga memiliki banyak pilihan minyak nabati namun kelapa sawit lebih sering menerima kampanye negatif.
Uni Eropa juga dikenal kerap menghambat ekspor minyak sawit Indonesia termasuk dengan mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) terhadap biodiesel sawit dari Indonesia 8,8 persen - 23,3 persen pada 2013.
Baca Juga
Pada pengujung 2019, Eropa secara sepihak menetapkan tarif bea masuk sebesar 8 persen - 18 persen terhadap biodiesel Indonesia selama lima tahun. Alasannya perusahaan biodiesel asal Indonesia menerima subsidi secara berlebihan dari pemerintah.
Pada Rabu (27/1/2021), kedua kawasan tersebut menggelar pertemuan kelompok kerja bersama atau joint working group secara daring. Gelaran ini merupakan komitmen yang dicapai pada Pertemuan Tingkat Menteri Asean-UE ke-23 pada 1 Desember 2020.
Adapun, agenda putaran pertama tersebut mempertemukan perwakilan dari Indonesia, Malaysia, Kamboja, Thailand, Laos, Vietnam, Komisi Eropa, dan European External Action Service.
Negara Asean mempresentasikan kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh minyak sawit minyak kepala, sementara itu Uni Eropa mengedepankan situasi rapeseed, minyak kedelai, bunga matahari dan minyak zaitun.
Mereka menyepakati dialog tentang tantangan produksi minyak nabati berkelanjutan. Selain itu, seluruh kalangan berbagi informasi yang relevan tentang produksi minyak nabati berkelanjutan dan berkontribusi pada pemahaman bersama yang lebih baik tentang kriteria berkelanjutan serta proses sertifikasi minyak nabati.
Hasil pertemuan juga menyepakati kolaborasi dalam praktik keberlanjutan di industri kepala sawit. Praktik tersebut utamanya untuk petani kecil, studi atau penelitian tenyang kriteria keberlanjutan serta sertifikasi minyak nabati.
“Para peserta sepakat untuk melanjutkan joint working group dengan pertemuan berikutnya pada April 2021, yang dapat didahului dengan pertemuan ahli untuk memperdalam pemahaman bersama tentang masalah yang dihadapi dan membahas kemungkinan kerja sama dua arah,” tulis salah satu hasil pertemuan.
Wamenlu Mahendra Siregar menyebutkan bahwa pertemuan itu sebagai kemitraan strategis antara Asean - Uni Eropa. Kerja sama tersebut kata dia menyediakan wadah untuk menyelesaikan perbedaan antara dua blok perdagangan.
“Sekaligus memberikan kesempatan untuk memanfaatkan sinergi yang ada dalam investasi dan perdagangan antara dua wilayah kami berdasarkan kepentingan bersama saling menghormati dan prinsip non-campur tangan,” ujarnya.
Kemitraan tersebut, lanjut dia, bukan hanya apa yang dapat dilakukan Uni Eropa untuk Asean, akan tetapi apa yang dapat dilakukan Asean untuk membantu Benua Biru.
“Kami sekarang adalah mitra yang setara dan kami siap membantu UE untuk memberikan misalnya bantuan teknis dalam memerangi dan mengendalikan kebakaran hutan di UE yang berdampak menghancurkan pada tahun 2020 pada keanekaragaman hayati, flora dan fauna di wilayah yang Uni Eropa dan telah berkontribusi negatif untuk mencapai tujuan keberlanjutan SDGs 2030,” tuturnya.
Dia mengakui selama ini kerap menghadapi kampanye negatif kelapa sawit. Oleh karena, diplomasi sawit Indonesia terus diperkuat untuk melindungi kepentingan strategis tersebut.
Indonesia mengedepankan pendekatan komprehensif, holistik, dan non diskriminatif dengan mempromosikan SDGs sebagai kerangka berkelanjutan yan sudah diterima seluruh dunia.
Dari aspek multilateral, Indonesia terus mengawal proses litigasi di WTO terkait sengketa biodiesel sawit (RED II) terhadap Uni Eropa. Selain itu, di FAO, diplomasi dilakukan untuk mendukung finalisasi penyusunan inisiatif Voluntary Guidelines for Sustainable Vegetable Oils (VGSVO) in Support of SDGs.
Pada tataran Bilateral, kata dia, Indonesia mengambil langkah mendorong pembentukan kerja sama RI-Inggris dengan mutual recognition standard mengenai keberlanjutan.
“Selain itu, berbagai riset, kajian, dan seminar mempromosikan penggunaan platform itu dengan membandingkan keberlanjutan sejumlah minyak nabati dilakukan dengan mendorong kerjasama institusi di dalam dan luar negeri,” imbuhnya.