Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Habib Rizieq dan Kemelut Swab Test

Satpol PP, TNI, dan Kepolisian ditolak saat mendatangi kediaman Rizieq untuk melakukan swab test.
Ilustrasi - Warga mengikuti tes cepat yang digelar Polda Metro Jaya setelah klaster Covid-19 terjadi di acara pernikahan anak Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, Minggu (22/11/2020)./Antara-Devi Nindy
Ilustrasi - Warga mengikuti tes cepat yang digelar Polda Metro Jaya setelah klaster Covid-19 terjadi di acara pernikahan anak Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, Minggu (22/11/2020)./Antara-Devi Nindy

Bisnis.com, JAKARTA - Isu soal informasi dan tindakan terhadap kesehatan pasien Covid-19 kembali muncul ke permukaan. Kali ini Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab atau dikenal sebagai Habib Rizieq Shihab atau HRS menjadi bintang utamanya.

Kisah itu dimulai dari kabar penolakan Rizieq terhadap upaya pemerintah melakukan tes usap atau swab test kepada dirinya. Pemeriksaan ini dianggap perlu dilakukan karena acara-acara yang telah dihadiri Rizieq menjadi klaster penyebaran virus Corona.

Pihak Polsek Tanah Abang menyatakan bahwa Satpol PP, TNI, dan Kepolisian ditolak saat mendatangi kediaman Rizieq untuk melakukan swab test. Cerita penolakan ini pun berlanjut saat Rizieq dirawat di Rumah Sakit Ummi Bogor, Jawa Barat.

Kabar itu disampaikan oleh Wali Kota Bogor Bima Arya yang juga Ketua Satgas Penanganan Covid-19 kota Bogor. Dia menyampaikan hal itu ketika diminta tanggapan soal usulan pemerisaan Covid-19 terhadap Rizieq, Jumat (27/11/2020).

Menurut Bima, laporan dari Tim Dinas Kesehatan Kota Bogor menyebutkan bahwa pihak keluarga tidak bersedia jika Rizieq menjalani swab test. Namun pihak keluarga tidak menyampaikan alasan.

Bima pun mengunjungi langsung RS Ummi untuk mendapatkan konfirmasi perihal kejadian tersebut. Hasilnya, Rizieq telah melakukan swab test secara mandiri tanpa koordinasi dengan pemerintah, bahkan rumah sakit tempat dia dirawat.

Petugas swab disebut berasal dari Mer-C, yang mengklaim telah berpengalaman dalam memberikan bantuan medis dan kesehatan kepada siapa pun.

Bima pun menyayangkan hal tersebut. "Sangat penting bagi kami prosedurnya apakah sesuai dengan protokol kesehatan dan tim yang melakukan swab itu siapa dan dikirim ke laboratorium mana," kata Bima.

Sekretaris Bantuan Hukum DPP Front Pembela Islam (FPI) Azis Yanuar tidak memahami masalah yang dimiliki Bima Arya terhadap Rizieq Shihab. Atas masalah ini, Aziz hanya menekankan bahwa Indonesia merupakan negara Pancasila, bukan otoriter.

"Ini bukan negara otoriter di mana semua harus lapor ke pemerintah," kata Aziz.

Kemudian, pihak Rizieq pun menolak memberikan hasil pemeriksaan terkait Covid-19 tersebut. "Beliau keberatan [hasil swab test-nya dibuka ke umum]," ujar Aziz.

Akademisi dan Praktisi Medikolegal Muhammad Luthfie Hakim turut memberikan pendapat. Menurut Luthfie setiap tindakan kedokteran terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.

Hal itu diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan dimuat ulang dalam Pasal 2 ayat (1) No.290/2008 Permenkes tentang Persetujuan Tindakan.

Dalam Pasal 56 ayat (1) UU No.36/2009 tentang Kesehatan lebih lanjut diatur bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

“Kiranya sudah jelas pemeriksaan atau swab terhadap seseorang yang diduga mengidap virus Covid-19 pun haruslah diperlakukan sama dengan pasien-pasien lainnya, tidak boleh mengabaikan otonomi pasien yang merupakan HAM-nya,” kata Luthfie dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Minggu (29/11/2020).

Dia melanjutkan bahwa Pasal 56 ayat (1) UU No.36/2009 tidak berlaku kepada pasien dengan penyakit yang dapat secara cepat menular, keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri, dan gangguan mental berat.

Namun, kata Luthfie, hal itu hanya berlaku bagi pasien yang telah terkonfirmasi memiliki penyakit menular.

“Bagi mereka yang tidak atau belum terkonfirmasi sebagai penderita penyakit [menular] tentu tidak termasuk yang mendapat pengecualian persetujuan tindakan kedokteran ini,” katanya.

Kemudian, kata Luthfie, Pasal 14 ayat (1) UU No.4/2004 tentang Wabah Penyakit mengatur soal tindakan hukum terhadap orang yang dengan sengaja menghalangi penanggulangan wabah.

Namun menurut Lutfhi yang dimaksud pasal itu tercantum dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa upaya penanggulangan wabah adalah pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina.

“Informasi yang diperoleh Penulis bahwa HRS telah menjalani pemeriksaan swab Covid-19 dengan hasil negatif, maka hemat Penulis bahwa HRS tidak memenuhi unsur Pasal 14 ayat (1) UU No.4/2004,” kata Luthfie.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhammad Khadafi
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper