Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Meski Biden Menang, Pabrik China Tetap Waspada terhadap Pasar AS

Para petinggi pabrik di China percaya bahwa tarif AS atas barang-barang senilai miliaran dolar akan dipertahankan, begitu pula pembatasan ketat pada teknologi dan investasi, setelah Biden resmi dilantik. 
Manufaktur China/Reuters
Manufaktur China/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Ketidakpercayaan mendalam yang berakar sejak pemerintahan Donald Trump berlanjut. Kini meski Joe Biden terpilih, pabrikan China tetap waspada AS akan memusuhi negara itu.

Para petinggi pabrik di China percaya bahwa tarif AS atas barang-barang senilai miliaran dolar akan dipertahankan, begitu pula pembatasan ketat pada teknologi dan investasi. 

Dicheng Technology Co. Ltd. yang berbasis di Hangzhou, termasuk di antara perusahaan yang terkena tarif Trump tahun lalu. Menurut Antony Hung, seorang manajer penjualan, kebijakan mungkin menjadi lebih dapat diprediksi, tetapi itu tidak akan menghentikan perusahaan mencari pasar baru di luar AS, yang menyumbang sekitar 20 persen dari pendapatannya.

"Kami tidak 100 persen yakin perbaikan apa yang akan dihasilkan Biden. Kami khawatir situasi yang sama dapat terjadi lagi dan kami tidak akan berani membuat pasar AS menjadi lebih besar," kata Hung, dilansir Bloomberg, Kamis (12/11/2020).

Li Huan, seorang manajer penjualan di EndoAngel Medical Technology Co. Ltd. yang berbasis di Wuhan juga berpandangan serupa. Hambatan dagang ke pasar AS ditambah dengan hubungan politik dua negara menjadi sejumlah alasan produsen perangkat medis itu menghindari pasar AS dan berencana mencari persetujuan peraturan ke Eropa.

Namun, Li berharap hubungan China dan AS dapat sedikit membaik di bawah kepemimpinan Biden. "AS pasti akan memiliki standar yang lebih tinggi untuk produk kami, jadi kami bahkan belum mencobanya," kata Li


Sementara itu Chang Shu, kepala ekonom Bloomberg Asia mengatakan hubungan antara AS dan China akan terus menghadapi ketidakpastian, meskipun mungkin tidak ada eskalasi ketegangan perdagangan dan kerja sama lebih lanjut di beberapa bidang seperti lingkungan.  

"Tarif mungkin tidak turun dengan cepat dan pemisahan [aset] dapat berlanjut di beberapa bidang seperti teknologi," katanya.

Di sisi lain, Presiden Xi Jinping tengah mengejar visi jangka panjang untuk melipatgandakan ekonomi China pada 2035 yang dimotori konsumsi dan inovasi teknologi. Ambisi tersebut adalah bagian dari kerangka kerja ekonomi lima tahun dan visi 15 tahun yang sebagian diluncurkan pada Oktober lalu.

Belum jelas apakah Biden akan sekeras Trump dalam melawan Xi. Selama kampanye, mantan wakil presiden itu tidak menjelaskan secara spesifik bagian mana dari kebijakan China era Trump yang akan dia ubah. Meski deimikian, dia mengkritik Beijing atas tindakannya di Hong Kong, mengatakan bahwa kebijakan China terhadap minoritas Muslim di Xinjiang tidak masuk akal dan menyebut presiden China sebagai preman.

Arthur Kroeber, pengamat veteran ekonomi China dan mitra pendiri di perusahaan riset Gavekal Dragonomics mengatakan,
siapa pun yang mengharapkan pengaturan ulang sepenuhnya tarif atau pembatasan teknologi Trump kemungkinan akan kecewa karena Biden akan mengkalibrasi ulang kebijakan itu.

"Presiden terpilih Joe Biden telah berjanji untuk memulihkan AS, secara implisit kembali ke era sebelum Trump. Namun ini tidak akan mungkin terjadi untuk kebijakan China," tulis Kroeber dalam sebuah catatan.

Tidak seperti risiko yang tergantung pada prospek pertumbuhan AS, Biden akan menghadapi pemulihan ekonomi China yang relatif kuat ketika ia menjabat presiden pada Januari.  Sebagian didorong oleh permintaan AS untuk barang-barang buatan China, terutama peralatan medis dan elektronik. Ekspor China berkembang lebih cepat dari yang diharapkan pada Oktober, dengan pengiriman ke AS saja melonjak 22,5 persen.

Sementara kebijakan perdagangan AS mungkin menjadi lebih dapat diprediksi, para analis mengatakan kemungkinan Biden mengejar dorongan multilateral melawan China dengan dukungan sekutu, yang berpotensi memperburuk prospek eksportir China lebih lanjut.

Ini juga dapat mempersulit operasi perusahaan asing yang berbisnis di China. Olivier Brault, manajer umum untuk Asia Pasifik di perusahaan bahan konstruksi Prancis Soprema, mengatakan perusahaan asing sudah khawatir.

"Saya merasa ada kehati-hatian dalam investasi asing di China saat ini karena berbagai alasan dan salah satunya adalah ketidakpastian perang dagang," katanya.

Saat ini Trump telah kehilangan jabatan tetapi tetap berkuasa. Wang Tao, kepala ekonom China di UBS Group AG di Hong Kong mengatakan bulan-bulan terakhir masa jabatan Trump sebelum Januari 2021 akan menjadi periode yang rapuh bagi hubungan AS dan China.

"Ada risiko yang cukup besar bahwa pemerintah AS saat ini dapat menerapkan langkah-langkah tambahan terhadap China, beberapa di antaranya mungkin secara politis menantang untuk dilepaskan," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper