Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Suap Fatwa MA Djoko Tjandra, Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Andi Irfan Jaya

Jaksa menilai pernyataan tim penasihat hukum Andi Irfan Jaya yang menyebut dakwaan tidak jelas dan kurang lengkap harus dikesampingkan.
Tersangka Andi Irfan Jaya dikawal usai menjalani pemeriksaan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu, 2 September 2020./Antara-Galih Pradipta
Tersangka Andi Irfan Jaya dikawal usai menjalani pemeriksaan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu, 2 September 2020./Antara-Galih Pradipta

Bisnis.com, JAKARTA - Tim jaksa penuntut umum (JPU) meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menolak nota keberatan atau eksepsi yang diajukan tim penasihat hukum terdakwa kasus dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Andi Irfan Jaya.

"Kami penuntut umum memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara atas nama terdakwa Andi Irfan Jaya berkenan untuk menolak keseluruhan eksepsi yang diajukan oleh tim penasihat hukum terdakwa Andi Irfan Jaya," ujar Jaksa, Rabu (11/11/2020).

Jaksa menilai pernyataan tim penasihat hukum Andi yang menyebut dakwaan tidak jelas dan kurang lengkap harus dikesampingkan. Menurut Jaksa, dakwaan sudah disusun sesuai KUHP.

Ihwal, pandangan tim kuasa hukum yang menyebut dakwaan tak menjelaskan detail waktu dan tempat Andi Irfan Jaya menerima uang dari Djoko Soegiarto Tjandra, menurut Jaksa, hal tersebut telah diuraikan di dalam dakwaan.

"Pernyataan penasihat hukum terdakwa Andi Irfan Jaya, dakwaan tidak lengkap menjelaskan locus dan tempus delicti sangat tidak beralasan. Karena hal tersebut sudah kami uraikan secara cermat, jelas, dan lengkap secara umum dan telah memenuhi unsur pasal tindak pidana korupsi yang kami dakwakan," ucap jaksa.

Jaksa mengatakan uraian lebih rinci akan diungkap di persidangan nantinya. Hal tersebut, kata Jaksa, sudah menjadi pokok perkara yang tidak menjadi objek atau ruang lingkup dari keberatan terdakwa.

Terkait dengan keberatan tim penasihat hukum Andi Irfan Jaya soal dakwaan terkait pemufakatan jahat, Jaksa juga menilai keberatan tim penasihat hukum harus dikesampingkan. Pasalnya, tim penasihat hukum keberatan Andi Irfan didakwa demikian karena bukan seorang penyelenggara negara, melainkan pihak swasta.

Menurut Jaksa, dalam dakwaan berbunyi Andi Irfan Jaya melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Soegiarto Tjandra untuk melakukan tindak pidana korupsi, yaitu memberikan atau menjanjikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri.

Jaksa mengatakan, dalam dakwaan penuntut umum memposisikan Andi Irfan Jaya bermufakat bersama Pinangki, Djoko Tjandra sebagai pemberi kepada pegawai negeri dan bukan dalam kualifikasi sebagai penerima.

"Sehingga dengan demikian, satu kualifikasi dalam permufakatan jahat adalah kualifikasi yang sama sebagai pemberi dan tidak ada yang mensyaratkan bahwa pelaku haruslah sama-sama sebagai seorang pegawai negeri atau sama sama pejabat negara atau sama sama pihak swasta," kata Jaksa.

Maka dari itu, Jaksa meminta Pengadilan Tipikor untuk meneruskan mengadili perkara ini dengan menghadirkan dan memeriksa para saksi.

"Menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap perkara atas nama terdakwa Andi Irfan Jaya dilanjutkan," kata Jaksa.

Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Mantan Politikus Partai NasDem Andi Irfan Jaya turut serta membantu sebagai perantara suap terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra kepada Pinangki Sirna Malasari selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI.

"Terdakwa Andi Irfan Jaya dengan sengaja memberi bantuan kepada Pinangki Sirna Malasari yang merupakan pegawai negeri," kata Jaksa penuntut umum saat membacakan surat dakwaan Andi Irfan Jaya, Rabu (4/11/2020).

Andi Irfan Jaya, disebut menerima uang sejumlah US$500 ribu dolar AS dari yang dijanjikan sebesar US$1 juta. Uang itu berasal dari Djoko Tjandra untuk diberikan kepada Pinangki Sirna Malasari melalui Andi Irfan Jaya.

Uang suap sebesar US$1 juta itu dijanjikan agar Pinangki bisa mengupayakan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) lewat Kejaksaan Agung (Kejagung).

Fatwa MA itu diperlukan agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi.

"Sehingga terdakwa Joko Soegiarto Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana," kata jaksa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper