Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemenangan Joe Biden dan 'Hari Penghakiman' Trump yang Tertunda?

3 November 2020 seharusnya juga menjadi "hari penghakiman" setelah empat tahun Donald Trump berkuasa.
Calon Wakil Presiden AS dari Partai Demokrat Joe Biden./Istimewa
Calon Wakil Presiden AS dari Partai Demokrat Joe Biden./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) seharusnya menghasilkan kemenangan besar bagi Joe Biden dan kemenangan meyakinkan bagi Partai Demokrat, kalau berpedoman pada lembaga survei, media,  maupun hasil penghitungan.

Pemungutan suara yang berlangsung setiap empat tahun itu seharusnya memberi perbedaan yang jelas saat ini dengan dengan masa lalu. Artinya, warga AS  akan menyongsong matahari pagi yang cerah setelah malam yang gelap dengan prediksi kemenangan Biden yang luar biasa.

Tanggal 3 November 2020 seharusnya juga menjadi "hari penghakiman", setelah empat tahun Donald Trump dinilai melakukan kesalahan terhadap lembaga demokrasi dan nilai-nilai liberal. Akan tetapi, setelah penghitungan suara dimulai, kondisinya tidak seperti yang diperkirakan, bahkan mulai menimbulkan pertanyaan.

“Apa yang terjadi dengan kemenangan telak yang dipaparkan lembaga survei kepada kita sebenarnya?”

Biden disebut menang dari Trump dengan keunggulan telak.

“Apakah mereka keliru dalam membaca perilaku dan interpretasi jajak pendapat?”

Hal yang lebih penting lagi, bagaimana Trump bisa terus menjadi populer setelah salah urus menangani pandemi Covid-19 yang telah menyebabkan seperempat juta kematian warganya. Trump juga disebut sebagai biang kemunduran ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan angka pengangguran dua digit.

Lalu, bagaimana dia bisa tetap menjadi pilihan yang kredibel setelah skandal dan investigasi yang tak terhitung jumlahnya terhadap catatannya yang mencurigakan?

Mulai dari penyalahgunaan kekuasaan hingga mengabaikan pajak, kalau tidak mau mengatakan melakukan kejahatan. Singkatnya, mengapa lebih dari 68 juta orang Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk Trump?

Kemenangan Joe Biden dan 'Hari Penghakiman' Trump yang Tertunda?

Calon Presiden AS dari Partai Republik Donald Trump./Istimewa

Trump Alat Mencapai Tujuan

Berbeda dengan apa yang biasanya terjadi, pemilihan kali ini bukan hanya referendum tentang kepresidenan Trump. Akan tetapi, pemilu kali ini juga menjadi referendum tentang AS atau mungkin lebih tepatnya referendum tentang Partai Republik.

“Saya curiga banyak kalangan independen sentris dan Partai Republik memilih Trump meskipun dia melakukan pelanggaran hukum yang mungkin bisa menjelaskan mengapa lembaga survei salah,” ujar pengamat politik internasional Marwan Bishara seperti dikutip Aljazeera.com, Jumat (6/11/2020).

Artinya, para pendukung Trump ini mungkin malu atau bahkan sungkan secara terbuka mengakui mendukung seorang kandidat yang dipersepsikan tidak mampu, penipu, pembuat perpecahan, dan diskriminatif secara rasial.

Bahkan, mungkin yang lebih sinis, memilih Trump karena dia justru bermain kotor dan bersedia melakukan segalanya untuk menang. Mereka sangat memusuhi lembaga survei arus utama yang mewakili media arus utama.

Bisa juga mereka menahan diri untuk tidak terlibat perbedaan pandangan dengan mereka, ujar Bishara.

Trump Tak Mengecewakan

Sebagai presiden, Trump telah menghadapi birokrasi yang mengakar dan menempatkan lebih dari 200 hakim konservatif, termasuk tiga hakim ke Mahkamah Agung. Trump juga memotong pajak secara besar-besaran, terutama pajak perusahaan selain mendukung hak anti-aborsi dan kebijakan konservatif sosial lainnya.

Bahkan, Trump dengan percaya diri tidak jarang menjelekkan media arus utama dan menyebutnya sebagai musuh rakyat. Demikian juga dengan lembaga survei.

Belum lagi tingkah Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, memusuhi Iran. Kebijakan itu semua didukung kaum kalangan Evangelis.

Memang, Trump paham betul denyut nadi warga Amerika kulit putih, tahu betul bagaimana pekerja kelas bawah kulit putih yang semakin terasing. Seakan Trump jadi pahlawan bagi mereka untuk melakukan pembalasan.

Dia juga secara terbuka, penuh perhatian dan intens menenangkan warga kulit putih Amerika, tidak seperti presiden lainnya. Artinya, Trump telah memulihkan, membela, dan menggalang nasionalisme kulit putih sekaligus memprovokasi sentimen anti-kulit hitam dan anti-muslim serta hispanik.

Ingat, kasus Black Lives Matter, yang berdiri untuk membela para korban kulit hitam dari pelecehan polisi.

Trump tidak segan-segan menuduh para pemimpin kulit hitam melakukan pengkhianatan, penghasutan dan pemberontakan. Akan tetapi,  dalam hal kekerasan oleh kaum kulit putih, Trump mengabaikan dan terkadang bahkan membela tindakan milisi nasionalis kulit putih dan preman bersenjata.

Pemilu telah memperjelas bahwa bagi mayoritas absolut kaum konservatif dan Republik, agenda presiden lebih penting daripada dia menipu pajak atau menyalahgunakan jabatannya. Bahwa keberhasilan Trump dalam menerapkan agenda konservatif membenarkan sikap populis, hiper-nasionalis, anti-demokrasi, bahkan rasis.

“Dan ini lebih mendesak daripada, katakanlah, 100.000 lebih orang Amerika Serikat yang  meninggal dunia karena salah urus krisis Virus Corona,” ujar Bishara yang juga Penulis masalah politik Timur Tengah tersebut.

Kemenangan Joe Biden dan 'Hari Penghakiman' Trump yang Tertunda?

Warga AS melaksanakan pemungutan suara di Pemilu Presiden AS pada 3 November 2020./Istimewa

Musuh Utama

Bagi para pemilih Trump, musuh pertama dan terutama adalah pembentukan arus liberal dan semua implementasinya dalam birokrasi pemerintah sebagaimana yang diinginkan oleh Biden dan pasangannya Kamala Harris.

Memang harus diakui, Biden bukanlah alternatif terbaik untuk Trump. Dia bukanlah pemimpin yang menarik atau menginspirasi. Selain itu, ada asumsi bahwa banyak orang yang membenci Trump, tapi menahan diri dan tidak memilih Biden, yang akan segera berusia 78 tahun.

Pasalnya, karena ada peluang bagus bahwa Harris, seorang wanita kulit berwarna dapat mengambil alih kekuasaan sebelum masa jabatannya berakhir karena usia lanjut atau berhalangan tetap.

Walaupun kedengarannya brutal, tapi harus jujur dikatakan bahwa Amerika Serikat sangat terpecah saat ini, sehingga politik elektoral tampak seperti kelanjutan dari Perang Saudara Amerika dalam wujud lain.

Karena itulah, meski pemilu telah berlalu dan rezim  berganti, Biden atau Trump yang berkuasa, tidak mudah bagi warga Amerika Serikat menghindari perpecahan yang bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memperbaikinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper