Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pilpres AS 2020, Trump, Biden, Carter, dan Reagan

Beberapa analis politik akhir-akhir ini mengungkapkan beberapa poin mengapa hasil jajak pendapat mengarah pada kekalahan telak bagi Trump dan partainya.
Joe Biden dan Donald Trump bersaing keras meraup suara terbanyak di Pilpres AS 2020./Istimewa
Joe Biden dan Donald Trump bersaing keras meraup suara terbanyak di Pilpres AS 2020./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) terakhir yang menghadapi masalah dalam pemilihan presiden periode kedua seperti Donald Trump saat ini  adalah Jimmy Carter pada tahun 1980.

Seperti Trump, Carter juga menghadapi masalah besar di dalam maupun di luar negeri.  Dia terpukul akibat resesi ekonomi dan tidak mampu menghadapi sejumlah krisis nasional, sehingga kehilangan popularitas cukup dalam ketika itu.

Bedanya, mantan petani kacang itu berasal dari Partai Demokrat, sementara Trump diusung Partai Republik.

Sebagi gambaran, kesulitan petahana saat ini  dalam menghadapi kegagalan dalam penanganan Virus Corona, hampir sama dengan ketidakmampuan Carter untuk membebaskan sandera Amerika Serikat yang ditawan oleh Iran.

Mari kita lihat gambaran angka-angkanya!

Defisit Popularitas

Hari ini, defisit hasil jajak pendapat nasional Trump sekitar 10 poin persen dan waktu pemilihan tinggal sepekan. Angka itu  cocok dengan defisit suara populer Carter saat melawan Ronald Reagan, mantan bintang film Hollywood yang beralih ke dunia politik tersebut.

Reagan menang telak di 44 negara bagian dan Partai Republik menguasai Senat seperti saat ini.

Beberapa analis politik akhir-akhir ini mengungkapkan beberapa poin mengapa hasil jajak pendapat mengarah pada kekalahan telak bagi Trump dan partainya pada 3 November 2020.

Basis pemilih Trump masih tetap bertahan. Pertama, adalah kokohnya basis politik Trump yang sempit, karena berpusat pada kaum Kulit Putih yang berpendidikan rendah, warga pedesaan, kalangan Kristen Evangelis, dan golongan buruh.

Ketika terpilih pada tahun 2016 dengan raihan hanya 46,1 persen suara saat melawan Hillary Clinton, Trump kini tetap tidak populer secara keseluruhan selama masa jabatannya.

Tetapi, terlepas dari pandemi Covid-19 yang disertai masalah ekonomi, kerusuhan rasial dan sikap Trump yang tidak menentu dan provokatif, membuat mantan pengusaha properti itu tetap dipuja para pendukung setianya.

 Hal itu itulah yang membantu popularitasnya tidak turun jauh di bawah level 42,5 persen pada akhir pekan lalu menurut  rata-rata polling yang dilakukan FiveThirtyEight.com.

"Trump adalah Presiden terburuk yang pernah ada.  Saya tidak dapat membayangkan para pengamat menghabiskan waktu lebih dari 10 menit untuk memperdebatkannya," kata Larry Sabato, yang memimpin Pusat Politik Universitas Virginia.

Pilpres AS 2020, Trump, Biden, Carter, dan Reagan

Calon Presiden AS Joe Biden dari Partai Demokrat./Istimewa

Akan tetapi, dia benar-benar telah mengembangkan dasar pemilih yang kokoh, katanya seperti dikutip CNN.com.

Dia mengatakan hal itu terjadi terutama karena polarisasi saat ini telah membuat Partai Republik jauh lebih homogen secara ideologis daripada Partai Demokrat di era Carter.

Hubungan Demokrat yang rapuh di wilayah negara bagian paling konservatif itu turut membantu mantan gubernur Georgia itu merebut suara di wilayah Selatan dalam kemenangannya tahun 1976.

Akan tetapi, kondisi itu berbeda ketika Carter maju empat tahun kemudian, pada 1980 ketika menghadapi Reagan. Masa jabatannya yang bermasalah telah meruntuhkan dukungan konservatif itu.

Dukungan atas dirinya anjlok tahun pertama masa pemerintahannya, yang mencapai 75 persen, menjadi separuhnya pada musim gugur 1980. Akhirnya, Carter hanya mampu menuai  suara populer 41 persen.

Polarisasi dan Demografi

Alasan kedua adalah kombinasi polarisasi dan perubahan demografis telah membuat masing-masing negara bagian secara politis kian berbeda satu sama lain.

Pada tahun 2000, George W. Bush memenangkan suara elektoral meski tipis, tapi kalah dalam  perolehan  suara populer setengah poin persen. Pada akhirnya mampu menyingkirkan Al Gore.

Pada tahun 2016, Trump terpilih dengan memperoleh bagian yang lebih besar dari suara elektoral (electoral college) meski menderita kekalahan dua poin dari  Hillary Clinton untuk suara populer.

Tahun ini, kontur medan pertempuran individu menunjukan  Trump akan memiliki peluang sangat tipis untuk merebut kembali kemenangannya, sekalipun jika dia hanya kehilangan suara populer dua kali lipat.

Ingat, pada pemilu paruh waktu 2018, ketika antipati muncul terhadap Trump dan kebijakannya, Demokrat telah mengambil keuntungan yang nyata.

Secara nasional, Partai Demokrat memang menguat untuk merebut kembali kendali di DPR. Tapi, mereka gagal dalam beberapa kontestasi politik di medan pertempuran yang kritis untuk gubernur dan Senat.

"Keunggulan nasional delapan poin tidak cukup bagi Demokrat untuk membalikkan Ohio atau Iowa, begitu juga dengan Florida" ujar Amy Walter, editor nasional Cook Political Report.

Hari ini, kinerja Trump terlihat jauh lebih baik di negara bagian yang menentukan secara elektoral daripada yang dia lakukan secara nasional.

Artinya, kalaupun Biden mampu meraih kemenangan suara secara  nasional,  posisi itu  belum aman untuk dirinya untuk  menjadi pemenang secara telak.

Selain itu, kemenangan tipis Trump di medan pertempuran yang lebih konservatif seperti Georgia, Iowa, dan North Carolina dapat menutup kekalahan partainya dalam pemilihan Senat.

Pada 2016, semua  kontestasi politik untuk Senat cenderung ditentukan oleh kemenangan partai calon presiden asal negara bagian tersebut.

Bagaimanapun, tidak ada yang percaya Demokrat dapat menantang perolehan 12 kursi Senat untuk tiga negara bagian di atas yang dipengaruhi oleh Reagan dari Partai Republik pada 1980.

Pilpres AS 2020, Trump, Biden, Carter, dan Reagan

Ronald Reagan dan istrinya Nancy Reagan di Los Angeles AS, 4 November 1980./Istimewa

Efek Pilpres 2016

Alasan ketiga para analis umumnya tidak melihat akan ada peristiwa yang luar biasa yang akan membalikkan keadaan bagi Trump.

Sulit juga memprediksi pihak Biden akan melakukan blunder, sehingga bus yang ditumpanginya mengalami pecah ban.

"Setiap orang mempunyai catatan tak terlupakan sejak empat tahun lalu," kata Sabato.

Jajak pendapat nasional 2016 yang memenangkan Trump sebenarnya hampir mendekati sasaran.

Tetapi, beberapa survei di medan pertempuran utama meremehkan jumlah pemilih kelas pekerja saat itu.

Kesalahan itu, dikombinasikan dengan upaya kuat Trump memengaruhi para pemilih yang terlambat memutuskan sehingga menghasilkan kejutan pada hari pemilihan.

Jajak pendapat bisa saja gagal kali ini. Namanya, juga prediksi. Tentu saja, tidak ada jaminan bahwa ada kesalahan yang sama akan kembali terjadi.

Dalam kampanye pemilihan ulang, Presiden Barack Obama tahun 2012, jajak pendapat juga meremehkan margin kemenangannya di negara-negara bagian utama.

Pandemi Jadi Faktor Penentu

Satu variabel unik yang sulit dipahami adalah efek pandemi Covid-19 pada pola pemungutan suara.

Volume besar surat suara sudah diberikan melalui pos dan terlihat pemungutan suara awal secara langsung itu menunjukkan tingginya jumlah pemilih.

Pada 2018, pola partisipasi memang meningkat dan hal itulah yang disukai Demokrat saat ini.

Akan tetapi, tidak ada yang bisa memastikan seberapa banyak lonjakan pemilih mencerminkan ketakutan tertular Virus Corona di tempat pemungutan suara pada Hari Pemilu.

Namun, ada indikasi dalam jajak pendapat kampanye akhir, Trump bisa saja menghadapi sesuatu yang menyerupai kekalahan sebesar Carter.

Pilpres AS 2020, Trump, Biden, Carter, dan Reagan

Jimmy Carter dan istrinya Rosalynn Carter./Istimewa

Karena itulah, Dave Wasserman, pakar politik terkemuka, mengatakan survei di distrik yang kompetitif menunjukkan angka ketertinggalan delapan hingga 10 poin persen masih konsisten.

Wasserman juga telah menghitung apa yang akan menyiratkan posisi nasional Biden dan Trump di antara kelompok-kelompok demografis utama.

Karena itu, perhitungan itu menunjukkan Biden, seperti Reagan 40 tahun lalu, akan memenangkan lebih dari 400 suara elektoral, sehingga kembali berlabuh ke Gedung Putih dengan status sebagai POTUS atau President of The United States.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper