Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Trump atau Biden Menang Pemilu, AS Tetap Alami Krisis Pasar Tenaga Kerja

Faktanya, tingkat pengangguran yang memuncak menjadi 14,7 persen pada April mungkin sebenarnya kurang mewakili kerapuhan pasar tenaga kerja pandemi AS. Ini akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi siapapun yang menang kelak.
Joe Biden dan Donald Trump bersaing keras meraup suara terbanyak di Pilpres AS 2020./Istimewa
Joe Biden dan Donald Trump bersaing keras meraup suara terbanyak di Pilpres AS 2020./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Pemilu Amerika Serikat di depan mata. Namun, siapa pun yang memenangkan kontes kepresidenan pada November mendatang, salah satu masalah paling mendesak yang harus diselesaikan oleh pemerintah adalah pasar pekerjaan yang terpukul.

"Sementara AS tidak lagi menuju depresi, data pasar tenaga kerja menunjukkan ekonomi terperosok dalam pemulihan yang lemah, dengan tingkat pengangguran masih tinggi di 7,9 persen," kata Beth Ann Bovino, kepala ekonom AS S&P Global, dilansir CNN Bussines, Rabu (21/10/2020).

Faktanya, tingkat pengangguran yang memuncak menjadi 14,7 persen pada April mungkin sebenarnya kurang mewakili kerapuhan pasar tenaga kerja pandemi AS. Mereka yang putus asa karena kurangnya pekerjaan yang tersedia, khawatir tentang tindakan pencegahan kesehatan atau harus tinggal di rumah untuk merawat anak atau lansia telah keluar dari angkatan kerja sama sekali. Tingkat pengangguran tidak memperhitungkan angka itu.

Jika semua orang yang keluar dari angkatan kerja sejak Februari ditambahkan, tingkat pengangguran akan menjadi 10,3 persen. Tingkat pengangguran diperkirakan tidak akan kembali ke tingkat prapandemi sebelum 2024. Mulai Januari, pemerintah perlu memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.

Ada empat perangkat yang bisa digunakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan itu yakni stimulus, infrastruktur, perdagangan, dan pajak.

Pertama, stimulus. Perundingan antara Demokrat dan Republik telah macet selama berbulan-bulan. Selama akhir pekan, Ketua DPR Nancy Pelosi mengatakan ada tenggat waktu 48 jam untuk mencapai kesepakatan jika RUU harus disahkan sebelum pemilihan.

Menurut laporan S&P, karena jutaan orang AS tetap membutuhkan bantuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan, negara itu juga masih menghadapi peluang 30 sampai 35 persen untuk jatuh kembali ke resesi.

Demokrat telah mengusulkan paket US$2,2 triliun, yang akan mencakup peningkatan sementara untuk tunjangan pengangguran. Paket stimulus pandemi pertama menambahkan US$600 per minggu dalam bentuk bantuan pengangguran, tetapi berakhir pada Juli. Partai Republik telah mengusulkan paket US$1,8 triliun.

Kedua, infrastruktur. Mantan Wakil Presiden Joe Biden dan Presiden Donald Trump sebenarnya memiliki gagasan serupa untuk perdagangan dan infrastruktur. Baik Presiden maupun penantangnya telah menjanjikan investasi infrastruktur, yang dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian.

S&P memperkirakan, meningkatkan infrastruktur sekitar US$2 miliar dapat menambahkan sebanyak US$5,7 triliun ke produk domestik bruto AS, dan menciptakan sebanyak 2,3 juta pekerjaan pada 2024.

Ketiga, sektor perdagangan. Baik Biden dan Trump juga telah berjanji untuk mengurangi ketergantungan AS pada China, tetapi metode mereka kemungkinan akan berbeda.

Pendekatan Trumpt ke China mungkin akan berlanjut pada slogan "America First". S&P berharap Biden akan lebih tertarik untuk membangun koalisi.

Lebih banyak kebijakan proteksionis bisa berisiko bagi pemulihan rapuh AS.

Keempat, persoalan pajak di AS. Pandangan Biden dan Trump tentang apa yang harus dilakukan tentang pajak dan regulasi sedikit berbeda.

Misalnya, tarif pajak perusahaan turun dari 35 persen menjadi 21 persen di bawah pemerintahan Trump. Ide di balik pemotongan tarif pajak perusahaan adalah untuk membuat Amerika Serikat lebih kompatibel dengan rezim pajak lainnya, mendorong perusahaan untuk mendulang keuntungan dan menciptakan lapangan kerja.

Namun, menurut S&P, itu tidak benar-benar berhasil karena perusahaan menggunakan uang pajak itu untuk kepentingan pemegang saham seperti pembelian kembali, alih-alih berinvestasi dalam bisnis dan memperluas pekerjaan.

"Efek samping yang tidak disengaja, bagaimanapun, adalah peningkatan utang nasional, mengingat dorongan ekonomi tidak mampu mengimbangi pukulan terhadap pendapatan pajak pemerintah," kata Bovino.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper