Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pilpres AS 2020, Apel Busuk, dan Gejolak Dunia

Dominasi AS bukan sekadar ditantang oleh China tetapi juga oleh ‘bangkitnya yang lain’, yaitu dunia di mana negara-negara dari setiap kawasan semakin stabil secara politik, kuat secara ekonomi, dan percaya diri secara kultural.
Relawan membagikan pamflet di luar Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam gelaran pemilihan pendahuluan di Houston, Texas, AS, Selasa (3/3/2020)./Bloomberg-Sharon Steinmann
Relawan membagikan pamflet di luar Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam gelaran pemilihan pendahuluan di Houston, Texas, AS, Selasa (3/3/2020)./Bloomberg-Sharon Steinmann

Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Donald Trump dan penantangnya, Joe Biden tinggal menghitung hari. Pada 3 November mendatang bisa diketahui siapa penghuni selanjutnya di Gedung Putih. Muka lama atau pendatang baru.

Hasil pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) yang digelar setiap empat tahun sekali, suka atau tidak suka, memang memengaruhi konstelasi politik dan ekonomi dunia. Ada sejarah panjang yang membuatnya demikian.

Peperangan menjadi salah satu panggung utamanya. Menyingkat histori, pemilihan kali inipun dihelat di bawah atmosfer perang. Perang Dagang AS-China yang berkecamuk hampir tiga tahun lamanya.

Perdagangan dan investasi Indonesia pun terkena getahnya, hingga diperparah oleh hantaman pandemi Covid-19 berkepanjangan yang bakal berujung pada krisis ekonomi.

Berbagai analisis dikemukakan untuk menebak hasil akhir pilpres AS. Bila Trump, yang mewakili kubu Republik, terpilih lagi, akankah perang menjadi damai, atau malah lebih buruk? Sebaliknya bila Biden mampu mengkandaskan pesaingnya, apakah politik global AS membawa perubahan signifikan bagi dunia?

Atau jangan-jangan siapa pun pemenangnya kelak, AS akan tetap saja seperti hari ini. Protektif, inward-looking, dan terus melancarkan Perang Dagang terhadap negara-negara yang dinilai agresif menerobos pasar negeri Paman Sam tersebut.

Trump bisa dikatakan super sensitif terhadap defisit neraca perdagangan luar negeri. Saat  awal berkuasa, konglomerat ini pernah juga mempersoalkan hal tersebut terhadap Korea Selatan, yang sejatinya adalah sekutu mesra Washington (Bob Woodward, 2019).

Kali ini China menjadi musuh utamanya. Beijing jelas bukan lawan sembarangan. Kedua pihak saling mengeluarkan jurus maut untuk menekuk lawan. Inilah yang membuat Perang Dagang tak kunjung reda.

Berbeda ketika AS tampil sebagai pemenang Perang Dunia II. Ia menjelma sebagai ultimate power tunggal sebelum akhirnya harus berhadapan langsung dengan Uni Soviet (Rusia) berikut Blok Timur sekutunya mulai dekade 1950 hingga runtuhnya komunisme (Soviet) pada 1991.

Siapa pun pemenang pilpres AS kelak, wajah politik internasional Washington sebenarnya tidak akan berubah drastis. Toh, bila Republik terdepak, Demokrat yang masuk. Begitu pula sebaliknya.

Namun ada semacam ‘semangat’ yang terus diusung sejak negara ini tampil sebagai kampiun pada 1945. Dunia pascaperang versi AS diistilahkan sebagai Grand Area yang intinya adalah wilayah yang harus tunduk pada kepentingan ekonomi Amerika.

Tokoh dibalik skenario besar pembentukan ‘dunia baru’ ini adalah George Kennan, Kepala Staf Perencanaan Departemen Luar Negeri hingga 1950 (Noam Chomsky, 2014).

Para pembuat kebijakan di AS menyadari dengan baik bahwa Paman Sam muncul dari Perang Dunia II sebagai penguasa global pertama dalam sejarah. Selama dan setelah perang, dengan hati-hati mereka merencanakan cara membentuk dunia pascaperang.

Sejak itu selanjutnya disepakati bahwa dominasi AS harus dipertahankan meski terdapat beragam pendapat mengenai strategi penerapannya.  

Salah satu strategi yang terkenal dan menorehkan implikasi global yang dalam hingga dekade 1990 adalah apa yang disebut ‘Teori Apel Busuk’. Dalam konteks ini, secara politik praktis AS melihat bahwa ‘satu apel busuk bisa merusak apel-apel lainnya di dalam keranjang’.

Bahayanya adalah bahwa ‘kebusukan’ dalam pembangunan sosial-ekonomi bisa menyebar. Untuk konsumsi publik, Teori Apel Busuk ini kemudian dikenal sebagai Teori Domino. Itulah sebabnya mengapa bintik-bintik paling kecil sekali pun, apabila dianggap sebagai ancaman, harus segera dibereskan.

Bagaimana dengan hari ini? Hari-hari menjelang pelaksanaan pilpres AS? Tantangan yang dihadapi Amerika memang nyata, sedangkan dinamika global saat ini sangat berbeda dibandingkan dengan era Perang Dingin yang diselimuti ancaman serangan nuklir.

Dominasi AS bukan sekadar ditantang oleh China tetapi juga oleh ‘bangkitnya yang lain’, yaitu dunia di mana negara-negara dari setiap kawasan semakin stabil secara politik, kuat secara ekonomi, dan percaya diri secara kultural (Fareed Zakaria, 2015).

Mungkin saja dalam beberapa tahun mendatang belum ada tensi politik global yang lebih panas daripada Perang Dagang AS-China saat ini. Saya termasuk berkeyakinan bila Biden memenangkan pilpres, ada semangat baru yang ingin dibangun olehnya maupun Presiden Xi Jinping untuk merevitalisasi hubungan kedua negara.

Bukankah kandidat dari Partai Demokrat itu memang menginginkan AS untuk ‘kembali ke keadaan normal’? Bila rekonsiliasi kedua raksasa ekonomi itu menunjukkan tren positif, dampaknya terhadap perdagangan dan investasi global tentunya akan besar pula seiring dengan mulai terkendalinya pandemi Covid-19.

Sebaliknya, bila Trump kembali berkuasa maka bersiaplah dunia menghadapi ekses dari MAGA Jilid II. Make America Great Again lanjutan yang penuh gelora dan kejutan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper