Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Obligasi Thailand Laris Manis di Tengah Ketidakpastian Politik

Obligasi Thailand menjadi salah satu instrumen incaran investor seiring dengan kenaikan permintaan akibat pandemi virus corona.
Suasana Bangkok, Thailand, pada 19 Juni 2020./Antara/Reuters
Suasana Bangkok, Thailand, pada 19 Juni 2020./Antara/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Obligasi Thailand mengalami kenaikan permintaan di tengah terjadinya demonstrasi menentang pemerintah dan kekhawatiran terkait dampak virus corona terhadap perekonomian.

Dilansir dari Bloomberg pada Jumat (9/10/2020), obligasi Thailand menjadi salah satu instrumen incaran investor seiring dengan kenaikan permintaan akibat pandemi virus corona. Pada lelang surat berharga bulan lalu, rasio bid-to-cover seri obligasi Thailand dengan tenor 10 tahun mencapai 4 kali.

Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan lelang obligasi Thailand pada awal tahun yang hanya mencapai 2,5 kali. Selain itu, penjualan obligasi dengan tenor tahun 2038 juga mencatatkan bid-to-cover ratio sebesar 3,9 kali.

“Pelelangan obligasi Thailand tergolong baik karena permintaan yang meningkat akibat virus corona yang berdampak pada outlook korporasi, tingkat imbal hasil domestik yang menarik dibandingkan dengan obligasi asing, serta pasokan obligasi yang sehat baik dari korporasi maupun bank sentral,” jelas Head of Market Strategy SCB Securities Jitipol Puksamatanan.

Ia menambahkan, aksi ketidakstabilan politik di Thailand juga tidak berdampak terhadap kepercayaan diri investor domestik. Permintaan terhadap obligasi Thailand juga diperkirakan akan tetap tinggi hingga akhir tahun.

Selain itu, aliran modal asing juga telah kembali masuk ke Thailand dengan kepemilikan asing pada obligasi sebesar US$1,4 miliar pada kuartal lalu. Meski demikian, catatan itu masih dibawah torehan pada awal tahun 2020 sebesar US$3 miliar. Para investor asing juga masih menjadi net buyer pada Oktober 2020.

Kekhawatiran pelaku pasar terkait kelebihan pasokan surat utang juga terhapus setelah pemerintah setempat mengumumkan hanya akan membeli sebanyak US$47 juta atau 1,47 triliun baht di sisa tahun 2020 atau 11 persen lebih rendah dibandingkan periode setahun terakhir.

Pengurangan ini disebabkan oleh dana pada paket stimulus yang diluncurkan Thailand pada Mei lalu. Hingga saat ini, pemerintah baru menggunakan sepertiga dari total 1,9 triliun baht yang ditetapkan.

Hal sebaliknya terjadi pada nilai tukar baht yang anjlok sejak protes masyarakat yang mulai terjadi pada bulan lalu serta aksi mogok kerja yang kian menekan pemerintah. Optimisme pembukaan kembali sektor pariwisata juga terhambat karena penyebaran virus corona yang kembali terjadi di wilayah Thailand.

Penurunan performa baht dapat terlihat dari melebarnya tingkat imbal hasil antara nilai baht onshore dan offshore. Tingkat imbal hasil tersebut telah naik menjadi 60 basis poin premium dari sebelumnya diskon 40 basis poin pada Juli lalu.

“Pelebaran ini mewakili risiko kondisi politik yang ada di Thailand,” jelas analis DBS Group Holdings, Duncan Tan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper