Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sedikitnya 21 Paslon Dipastikan Lawan Kotak Kosong di Pilkada 2020

Syamsurizal mengatakan sebanyak 21 paslon di antaranya dipastikan terwujud melawan kotak kosng, sedangkan 10 pasangan lainnya masih berpotensi mendapatkan lawan.
Logo Pilkada Serentak 2020 - ANTARA/HO-KPU
Logo Pilkada Serentak 2020 - ANTARA/HO-KPU

Bisnis.com, JAKARTA - Sedikitnya 21 pasangan calon (paslon) kepala daerah dipastikan akan melawan kotak kosong pada pilkada yang digelar  Desember 2020, dan tidak ada jaminan pasangan tersebut bisa mengalahkan kandidat bukan manusia tersebut.

Anggota Komisi II DPR, Syamsurizal mengatakan sebanyak 21 paslon di antaranya dipastikan terwujud melawan kotak kosong, sedangkan 10 pasangan lainnya masih berpotensi mendapatkan lawan.

Sebelumnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memperkirakan akan ada 31 paslon yang akan melawan kotak kosong pada Pilkada kali ini.

Syamsurizal, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mengatakan 21 daerah dengan paslon tunggal selain Kota Solo di antaranya Kota Semarang, Kota Kebumen, Blitar, Banyuwangi, Goa, Soppeng, Pematang Siantar, dan Balikpapan.

Sedangkan daerah lainnya termasuk Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Ogan Komilir Ulu Selatan, Nyawi, dan Wonogiri.

Meski paslon tunggal konstitusional, namun dia menilai hal itu berbahaya juga apabila kalah melawan kotak kosong.

"Semakin malu dia. Lawan kotak kosong saja kalah, apalagi lawan orang," ujar anggota komisi DPR yang menangani masalah pemilu tersebut.

Syamsurizal menjelaskan munculnya paslon tunggal antara lain disbeabkan: pertama,  akibat partai politik tidak memiliki dana operasional untuk mendukung calon yang diusung partai.

Syamsurizal mengatakan semestinya partai diberi dana APBN yang memadai sehingga punya kewenangan yang besar.

Dengan demikian, ketika penyelenggaran pilkada dan lainnya tidak perlu dana operasional untuk mendukung dana pencalonan, tapi ada dari dana APBN.

"Dana APBN kita belum begitu kuat, terpaksa mengambil dana dari calon. Ketika itu terjadi, dari kalangan anggota masyarakat ada yang mampu ada yang tidak mampu. Kalau incumbent mereka mampu karena punya gaji dan sebagainya," katanya.

Kedua, kurang sosialisasinya dari pihak terkait, sehingga tidak menimbulkan minat oleh masyarakat untuk ikut pilkada. Itu terjadi karena pilkada dipandang bukan sesuatu yang menarik, ditambah saat ini banyak kepala daerah tersangkut kasus hukum.

Ketiga, karena kepala daerah petahana dipandang masyarakat masih layak melanjutkan masa kepemimpinannya.

Misalnya, masyarakat sangat butuh karena si petahana berhasil dalam memimpin pembangunan daerahnya sekaligus menyejahterakannya, katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper