Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Oxford Economics: Lapangan Kerja Fesyen di Inggris akan Menyusut 25 Persen

Satu dari empat pekerja fesyen di Inggris berpotensi besar kehilangan mata pencaharian setelah pandemi.
Suasana sepi di Tower Bridge di London, Inggris, Kamis (9/4/2020). Saat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berada di unit perawatan kritis karena Covid-19, sejumlah pejabat menyusun rencana untuk memperpanjang masa lock down untuk mengendalikan krisis karena virus corona. Bloomberg/Simon Dawson
Suasana sepi di Tower Bridge di London, Inggris, Kamis (9/4/2020). Saat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berada di unit perawatan kritis karena Covid-19, sejumlah pejabat menyusun rencana untuk memperpanjang masa lock down untuk mengendalikan krisis karena virus corona. Bloomberg/Simon Dawson

Bisnis.com, JAKARTA - British Fashion Council (BFC) pada Kamis (16/7/2020) merilis hasil riset terbaru yang dilakukan Oxford Economics terhadap industri fesyen di Inggris. Mengacu riset tersebut, sekitar 25 persen lapangan kerja di sektor fesyen diperkirakan bakal lenyap karena wabah Covid-19.

Akibat kondisi tersebut, masih menurut temuan Oxford, 240.000 dari total 890.000 pekerja fesyen di Inggris terancam kehilangan mata pencaharian. Angka ini bahkan bisa naik jadi 350.000 bila jumlah pekerja di sektor-sektor tidak langsung seperti pemintalan benang dan pembuatan alat-alat jahit juga dihitung.

Sebagai catatan, jumlah tenaga kerja Inggris secara keseluruhan di semua sektor saat ini mencapai sekitar 35 juta. Artinya, bila perkiraan Oxford Economics akurat, hilangnya lapangan kerja di sektor fesyen saja sudah memicu penyusutan lapangan kerja Inggris secara keseluruhan sebesar 1 persen.

"Resesi akibat Covid-19 bisa mengancam industri fesyen 2 kali lipat daripada industri Inggris secara keseluruhan. Satu generasi talenta kreatif bisa menghilang karenanya, yang bisa bikin posisi Inggris dalam dinamika fesyen Global juga bergeser," tulis pihak BFC dalam pernyataannya.

Pendapatan total perusahaan-perusahaan fesyen di Inggris diperkirakan berkurang drastis hingga 88 miliar poundsterling pada tahun ini. Angka tersebut berbanding jauh ketimbang pendapatan pada 2019 yang berada di angka 118 miliar poundsterling.

Atas temuan ini, Oxford Economics dan BFC berharap pemerintahan Boris Johnson bisa menyediakan dukungan-dukungan yang punya dampak lebih sifnifikan. Khususnya terkait tarif bahan baku dan pelonggaran ekspor-impor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper