Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Koalisi LSM Minta Kemenkumham Juga Bebaskan Tahanan Kasus Narkotika

Sejumlah LSM meminta Kemenkumham untuk segera memasukkan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) pengguna dan pecandu narkotika dalam program asimilasi dan integrasi.
Tersangka tindak pidana narkotika./Antara-Widodo S. Jusuf
Tersangka tindak pidana narkotika./Antara-Widodo S. Jusuf

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah LSM meminta Kemenkumham untuk segera memasukkan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) pengguna dan pecandu narkotika dalam program asimilasi dan integrasi.

Koalisi LSM yang terdiri dari ICJR, IJRS, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, Rumah Cemara, dan Yakeba mengapresiasi kebijakan Kemenkumham yang melakukan program pembebasan WBP atau narapidana melalui asimilasi dan integrasi guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19) di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan.

Menurut koalisi tersebut, langkah pemerintah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mempersiapkan pengeluaran dan pembebasan narapidana kelompok rentan atau dengan tingkat risiko tinggi terpapar Covid-19.

Narapidana yang termasuk pada kategori ini mencakup napi lanjut usia (lansia), ibu hamil atau dengan anak, napi anak, napi dengan penyakit bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis, napi dengan kondisi gangguan jiwa serius, serta pengguna narkotika di dalam rutan dan lapas.

Khusus untuk pengguna narkotika, pandemi Covid-19 seharusnya jadi momentum pemerintah untuk memperbaiki kebijakan narkotika yang membebani negara selama ini.

Per Maret 2020 jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal, kapasitas rutan dan lapas hanya dapat menampung 132.335 orang, atau kelebihan kapasitas (overcapacity) sebesar 204 persen.

"Dilihat dari jumlah WBP, per Maret 2020, 55 persen WBP berasal dari tindak pidana narkotika, sebanyak 38.995 WBP merupakan pengguna narkotika. Bahkan sebelumnya di Februari 2020, 68 persen WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan pengguna narkotika yang dipaksa untuk mendekam di penjara mencapai 47.122 orang," demikian isi laporan tersebut dikutip Rabu (22/4/2020).

Oleh karena itu, pemerintah perlu menyegerakan pengeluaran dan pembebasan WBP pengguna narkotika melalui beberapa langkah. Pertama, melakukan penilaian kesehatan termasuk penilaian tingkat penggunaan napza dan risiko yang akuntabel dan komprehensif, termasuk penilaian adiksi dan risiko pada semua WBP yang berasal dari kebijakan “rancu” narkotika.

Koalisi tersebut mengatakan, banyak pengguna dan pecandu narkotika dijerat dengan pasal penguasaan dan kepemilikan UU Narkotika yang menyebabkan mereka diklasifikasikan sebagai “bandar” dan dijatuhi hukuman di atas 5 tahun penjara.

Langkah kedua, memastikan WBP yang berasal dari tindak pidana narkotika yang murni sebagai pengguna dikeluarkan dari lapas atau rutan.

Sementara langkah ketiga adalah memastikan WBP dengan adiksi dikeluarkan dengan memperoleh surat rujukan yang menujuk lembaga kesehatan terdekat untuk melakukan rehabilitasi atau tindakan pengawasan lainnya.

"Rutan dan lapas dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah setempat dan Dinas Kesehatan setempat atau puskesmas untuk pelaksanaan rehabilitasi atau tindakan pengawasan lainnya," demikian kutipan keterangan tersebut.

Meskipun UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah merumuskan dalam beberapa pasal soal pentingnya pendekatan kesehatan, namun kebijakan narkotika di Indonesia telah gagal memastikan upaya pendekatan kesehatan tersebut dalam penanggulangan dampak penggunaan narkotika.

Indonesia lebih memilih pendekatan perang terhadap narkotika, dengan mengedepankan pemidanaan yang secara global sudah diakui gagal menyelesaikan masalah dampak penggunaan narkotika.

Pengaturan pasal karet pidana dalam UU Narkotika juga dinilai tidak mampu menjamin pengguna narkotika tidak dikriminalisasi dan pencadu diberikan jaminan rehabilitasi.

Koalisi tersebut mengatakan, pendekatan kesehatan berbasis harm reduction perlu diprioritaskan kepada pengguna dan pecandu narkotika sesuai dengan rekomendasi beberapa organisasi PBB yang menentang pendekatan penghukuman bagi pengguna narkotika.

Pengeluaran WBP pengguna narkotika pun sudah disuarakan oleh Menteri Hukum dan HAM jauh-jauh hari lalu. Karena kondisi overcrowding yang sudah sangat membebani, Menteri Hukum dan HAM pada 27 April 2019 meminta pengguna narkotika tidak dipenjara. Bahkan, wacana pemberian amnesti masal kepada pengguna narkotika juga telah diapungkan pada November 2019 lalu.

"Secara politik hukum, pemerintah memiliki segala legitimasi hukum, dapat dengan mudah dan sangat beralasan untuk mengeluarkan dan membebaskan WBP tindak pidana narkotika," jelas keterangan tersebut.

Selanjutnya, koalisi LSM tersebut juga menambahkan, tidak semua pengguna narkotika mengalami ketergantungan atau adiksi, sehingga tidak semua pengguna narkotika memerlukan rehabilitasi. Sementara untuk pengguna narkotika dengan adiksi, rehabilitasi tidak hanya dalam bentuk rawat inap. Rehabilitasi dapat dilakukan dengan rawat jalan, kunjungan rutin ke pelayanan kesehatan, konseling rutin offline maupun online, termasuk terapi substitusi yang telah diatur institusi penanggung jawabnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper