Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja dalam RUU Ciptaker Merugikan Buruh

UU Ciptaker dalam Omnibus Law, disebut tak menguntungkan kaum buruh. Pasalnya, tidak dikenal pembatasan jenis pekerjaan apa saja yang diperbolehkan untuk sistem kontrak.
Buruh menata karung beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Rabu (12/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Buruh menata karung beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Rabu (12/02/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengkhawatirkan pasar kerja yang fleksibel justru berakibat minimnya perlindungan tenaga kerja dalam pembahasan RUU Cipta Kerja (Ciptaker). Sehingga ujung-ujungnya bakal merugikan kaum buruh.

Ketua Bidang Pekerja Petani Nelayan Dewan Perwakilan Pusat PKS, Riyono, mengatakan pemerintah seharusnya tak mengorbankan kaum buruh dalam Omnibus Law RUU Ciptaker dalam rangka menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui investasi.

Menurutnya, Pasal 89 poin 12 pada draft legislasi itu telah menghapus pasal 59 UU 13 Tahun 2003, yang dengan sendirinya menghapus aturan pembatasan untuk pekerja kontrak.

“Artinya, jika pada UU Nomor 13 Tahun 2003 ada batasan untuk jenis pekerjaan yang boleh merekrut pekerja kontrak, maka berdasarkan RUU Ciptaker ini batasan tersebut hilang dan semua jenis pekerjaan bisa mempekerjakan pekerja kontrak,” katanya. 

Selain itu, Pasal 89 poin 13 huruf c pada RUU Ciptaker juga telah mengubah pasal 61 dari UU 13/2003 bahwa perjanjian kerja berakhir dengan berakhirnya suatu pekerjaan. Menurutnya, tanpa penjelasan lebih lanjut hal ini akan mengakibatkan semakin sedikit pekerja tetap dalam sebuah perusahaan.

Dengan demikian, pengusaha dapat setiap saat melakukan pengurangan pekerja dengan alasan penurunan order atau pekerjaannya sudah habis. 

"Konsep flexibilitas labour market masih memungkinkan dilaksanakan ketika ditopang oleh program jaminan sosial serta subsidi yang kuat bagi buruh dan rakyat kecil. Seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis dan perumahan murah serta transportasi murah yang memadai sehingga bisa menekan biaya pengeluaran buruh dan masyarakat," katanya, Senin (24/2/2020).

Karena itu Riyono meminta pemerintah tak mengorbankan kaum buruh dalam rangka menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui investasi. Menurutnya pemerintah harus mencari terobosan lain dalam kebijakan Omnibus Law yang tak merugikan kaum buruh.

"PKS mendesak pemerintahan Jokowi (Joko Widodo) agar mencari terobosan lain dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi guna menciptakan lapangan kerja yang tidak mengorbankan perlindungan dan kesejahteraan kaum buruh," katanya.

Riyono juga menyebut penolakan RUU Omnibus Law oleh masyarakat, khususnya kalangan buruh, disebabkan isinya yang tak memberikan rasa keadilan dari pemerintah dan hanya berpihak pada kepentingan pengusaha. Dia menjelaskan, ketika dikuranginya tingkat kesejahteraan buruh seperti upah, akan berdampak pada penurunan kualitas dan penurunan daya beli masyarakat.

"Hal itu juga mengakibatkan tidak terserapnya produk-produk industri dan jasa serta UKM dan berdampak pada stagnannya perekonomian nasional," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Andya Dhyaksa
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper