Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OTT Komisioner KPU dan Relasi Gugatan Megawati-Hasto

Perkara dugaan tindak pidana korupsi Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan tak dapat dilepaskan dari celah hukum aturan main penunjukkan anggota DPR terpilih dalam Pemilu Legislatif 2019.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/1/2020) dini hari./ANTARA FOTO-Dhemas Rev
Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/1/2020) dini hari./ANTARA FOTO-Dhemas Rev

Bisnis.com, JAKARTA - Perkara dugaan tindak pidana korupsi Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan tak dapat dilepaskan dari celah hukum aturan main penunjukkan anggota DPR terpilih dalam Pemilu Legislatif 2019.

Riwayat kasus itu diawali kabar meninggalnya Nazarudin Kiemas, calon anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Daerah Pemilihan Sumatra Selatan I, pada 26 Maret 2019 atau sebelum pemungutan suara 17 April 2019.

Nama Nazarudin tidak bisa dihapus dari surat suara karena sudah terlanjur dicetak. Dalam pencoblosan pun, berdasarkan data PDIP, adik kandung mantan Ketua MPR Taufik Kiemas itu memperoleh suara terbanyak di Dapil Sumsel I.

Menilik regulasi, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3/2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum tetap memperhitungkan suara Nazarudin. Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l memberi panduan sebagai berikut:

Huruf k: tanda coblos pada 1 (satu) kolom yang memuat nomor urut calon, nama calon atau tanpa nama calon disebabkan calon tersebut meninggal dunia atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon, dinyatakan sah untuk partai politik.

Huruf l: tanda coblos pada 1 (satu) kolom yang memuat nomor urut partai politik, tanda gambar partai politik, atau nama partai politik, serta tanda coblos pada 1 (satu) kolom yang memuat nomor urut calon, nama calon atau tanpa nama calon disebabkan calon tersebut meninggal dunia atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon, dinyatakan sah untuk partai politik.

Pasal 55 ayat (3) beleid yang sama mengharuskan ketua kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) menyatakan suara caleg meninggal itu menjadi suara sah partai politik.

Di samping itu, Pasal 92 huruf a PKPU No. 4/2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum menegaskan bahwa suara caleg meninggal tidak diikutsertakan dalam penyusunan peringkat suara sah terbanyak.

Alhasil, dalam penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) pada 17 April, petugas memasukkan seluruh suara Nazarudin pada kolom suara partai politik di formulir C1. Caleg meninggal dunia hanya dicantumkan mendapatkan nol (0) suara.

Proses rekapitulasi pun berjenjang ke tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Sampai akhirnya, KPU menetapkan rekapitulasi secara nasional di Jakarta pada 21 Mei 2019.

Di Dapil Sumsel I, KPU menetapkan gabungan suara PDIP dan caleg-calegnya mencapai 265.160 suara. Perinciannya, sebanyak 145.752 suara untuk partai dan sisanya tersebar ke delapan calon anggota DPR.

Secara peringkat, (1) Riezky Aprilia mengumpulkan 44.402 suara, disusul (2) Darmadi Djufri 26.103 suara, (3) Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, (4) Diah Okta Sari 13.310 suara. Selanjutnya, (5) Harun Masiku 5.878 suara, (6) Sri Suharti 5.699 suara, (7) Irwan Tongari 4.240 suara, dan (8) Nazarudin Kiemas 0 suara.

OTT Komisioner KPU dan Relasi Gugatan Megawati-Hasto

Ketua KPU Arief Budiman (tengah) bersama Komisioner KPU Hasyim Asy'ari (kiri) dan Evi Novida Ginting Manik (kanan) memberikan keterangan pers soal kasus penetapan calon terpilih anggota DPR Pemilu 2019 PDI Perjuangan Dapil Sumsel I di Kantor KPU Pusat, Jakarta, Jumat (10/1/2020). KPU menegaskan bahwa keputusan penetapan Penggantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 merujuk pada Undang-Undang bukan fatwa Mahkamah Agung dan saat ini KPU juga telah menerima surat pengunduran diri dari Wahyu Setiawan sebagai Komisioner KPU./Antara-Aprillio Akbar

Gugatan ke MA

Sesuai ketentuan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), keberatan terhadap penetapan rekapitulasi hasil penghitungan suara KPU dapat diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tak hanya sengketa antarparpol, MK membolehkan pula sengketa caleg internal parpol asalkan mendapatkan persetujuan dari pengurus pusat.

Ogah ke MK, PDIP ternyata mendatangi lembaga yudikatif satunya yakni Mahkamah Agung (MA). Pada 24 Juni, Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto mengajukan surat permohonan uji materi PKPU 3/2019 dan PKPU 4/2019.

Megawati dan Hasto memberikan kuasa kepada advokat PDIP, Donny Tri Istiqomah, untuk menggugat dua produk hukum tersebut. Objek gugatan adalah Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l, Pasal 53 ayat (3) PKPU 3/2019, serta Pasal 92 huruf a PKPU 4/2019.

PDIP meminta kepada MA untuk menafsirkan frasa ‘dinyatakan sah untuk partai politik’ dalam Pasal 54 ayat (5) huruf k dan l menjadi ‘dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk partai politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon’.

Terhadap Pasal 53 ayat (3), pemohon meminta frasa ‘suara pada surat suara tersebut dinyatakan sah dan menjadi sah untuk partai politik’ dimaknai ‘suara pada surat suara tersebut dinyatakan sah dan menjadi suara sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah dan menjadi suara sah untuk partai politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon’.

Adapun, Pasal 92 huruf a PKPU 4/2019 diminta untuk dihapuskan. Bila dikabulkan, PDIP mengaku memperoleh hak untuk mendistribusikan suara caleg yang meninggal kepada caleg yang dikehendakinya.

Tak hanya menguji tiga materi PKPU, petitum PDIP juga disertai permintaan keempat agar MA menjatuhkan amar bersifat imperatif atau perintah. Penggugat meminta MA memerintahkan KPU untuk menetapkan caleg terpilih yang ditentukan oleh partai politik sebagai pengganti caleg yang meninggal.

Terhadap empat permintaan PDIP itu, Majelis Hakim Agung beranggotakan Supandi, Yosran, dan Is Sudaryono mengabulkan sebagian atau tiga petitum saja. Petitum keempat yang meminta MA memerintahkan KPU tidak dikabulkan.

“Bukan ranah pengujian keberatan hak uji materiil oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, terhadap tuntutan [keempat] ini patut dinyatakan tidak diterima,” tulis MA dalam Putusan No. 57 P/HUM/2019 yang dikutip Bisnis.com, Sabtu (11/1/2020).

OTT Komisioner KPU dan Relasi Gugatan Megawati-Hasto

Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menjawab pertanyaan wartawan di sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I PDIP di Jakarta, Jumat (10/1/2020). Hasto membantah isu dirinya dijemput tim KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) terkait kasus suap yang menjerat kader PDIP Harun Masiku dan Komisioner non aktif KPU Wahyu Setiawan./Antara-Aditya Pradana Putra

Dalam pendapat hukumnya, MA sepakat dengan dalil PDIP bahwa hubungan partai politik dengan caleg bersifat subordinatif. Oleh karena itu, menurut MA, partai politik memiliki diskresi untuk menentukan pengganti caleg meninggal.

“Diskresi pimpinan partai politik harus diterapkan secara ketat, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum agar tercapainya tujuan untuk meningkatkan kualitas keberadaan suatu partai politik dan penguatan kaderisasi partai,” tulis pertimbangan MA.

Untuk sampai menilai pokok permohonan dengan amar kabul sebagian tersebut, MA menyadari bahwa gugatan PDIP harus lolos syarat formal terlebih dahulu. Adapun, UU Pemilu telah mengatur hukum acara uji materi PKPU di MA.

Pasal 76 ayat (2) membolehkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan pihak lain yang merasa dirugikan untuk mengajukan permohonan kepada MA. Namun, Pasal 76 ayat (3) mensyaratkan permohonan harus diajukan paling lambat 30 hari kerja sejak PKPU diundangkan.

PKPU 3/2019 dan PKPU 4/2019 diundangkan bersamaan pada 4 Februari 2019. Padahal, permohonan uji materi PDIP ke MK teregistrasi pada 8 Juli 2019 atau melebihi 30 hari.

“Secara yuridis formal, pengajuan permohonan a quo telah lewat waktu,” tulis pertimbangan Putusan No. 57 P/HUM/2019.

Namun, MA merasa tenggang waktu tersebut bisa dikesampingkan untuk kasus PDIP. Alasannya, kerugian dari pemberlakuan dua PKPU baru dapat dirasakan oleh penggugat setelah pemungutan suara 17 April.

“Berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 17 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan hak asasi kepada setiap orang untuk menuntut haknya pada proses peradilan, maka ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU Pemilu dapat dikesampingkan.”

OTT Komisioner KPU dan Relasi Gugatan Megawati-Hasto

Petugas keamanan berjalan di samping ruang kerja Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang disegel KPK di Jakarta, Kamis (9/1/2020)./Antara-Dhemas Reviyanto

KPU Tolak

Putusan MA No. 57 P/HUM/2019 dijatuhkan pada 19 Juli 2019. Berbekal vonis MA, PDIP kemudian berkirim surat kepada KPU pada 5 Agustus untuk meminta suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.

Surat tersebut berbalas pada 26 Agustus. Lembaga penyelenggara pemilu tersebut menjawab tidak bisa mengkomodasi permohonan PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

“Amar putusan MA juga tidak secara eksplisit memerintahkan hal yang diminta oleh DPP PDIP Perjuangan kepada KPU,” kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting dalam keterangan resmi KPU, Jumat (10/1/2020).

Dalam rapat pleno terbuka penetapan anggota DPR terpilih 31 Agutus 2019, KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai wakil PDIP dari Dapil Sumsel I di DPR karena meraih suara terbanyak. Namun, PDIP tetap berupaya menggolkan Harun Masiku yang berada di peringkat kelima dengan cara meminta fatwa MA.

KPU menerima tembusan surat PDIP ke MA itu pada 27 September atau sebelum pelantikan anggota DPR periode 2019-2024. Terakhir, pada 18 Desember PDIP melampirkan fatwa MA yang meminta penggantian antarwaktu (PAW) Riezky dengan Harun.

Pada 7 Januari 2019, KPU kembali membalas PDIP bahwa permohonan PAW Riezky tidak dapat dipenuhi. Keesokan harinya, 8 Januari 2020, terjadi tangkap tangan Komisioner KPU Wahyu Setiawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap dari politisi PDIP Agustiani Tio Fridelina.

Wahyu, Agustiani, pihak swasta bernama Saeful dan Harun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Namun, Harun sampai saat ini belum menyerahkan diri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Miftahul Ulum

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper