Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia dan Pembajakan Perangkat Lunak

Ketika itu, muncul kritik mengenai kesepahaman itu karena Pemerintah bakal menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk melegalkan piranti bajakan. Padahal di lain pihak, Indonesia dianggap sebagai motor pengembangan sistem operasi terbuka, bisa diakses dan dimodifikasi oleh siapa saja yang kerap disebut open source.
Petugas menempel poster sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terkait bahaya software bajakan di pusat elektronik dan komputer Harco Mangga Dua/Antara-Fanny Octavianus
Petugas menempel poster sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terkait bahaya software bajakan di pusat elektronik dan komputer Harco Mangga Dua/Antara-Fanny Octavianus

Bisnis.com, JAKARTA – Jagat teknologi informasi Indonesia pada 2006 gonjang-ganjing ketika pemerintah meneken nota kesepahaman dengan Microsoft Corporation. Namun, sudah hampir 14 tahun sejak itu, negeri ini masih saja tergolong pembajak kelas wahid.

Ketika itu, pada 14 November 2006, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Sofyan Djalil, yang kini menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), menjalin kesepahaman dengan raksasa perangkat lunak, Microsoft yang diwakili oleh Presiden Microsoft Asia Tenggara Chris Atkinson. Kedua belah pihak ingin melegalkan ratusan ribu piranti Microsoft Windows dan Office yang digunakan di kantor-kantor milik pemerintah.

Berdasarkan catatan Bisnis, dalam nota kesepahaman itu, yang akan dibeli Pemerintah adalah 35.496 salinan Microsoft Windows dan 177.480 salinan Microsoft Office. Selain itu, Microsoft akan menghibahkan 266.200 salinan Microsoft Windows dan 266.200 salinan Microsoft Office.

Adapun harga belum ditentukan dalam MoU, tetapi akan ditentukan dari proses tender, yang akan diikuti oleh reseller-reseller dan Pemerintah bakal melakukan pembayaran ke reseller yang memenangkan tender dalam tiga tahap selama 3 tahun. Tagihan pertama akan dikeluarkan paling lambat tanggal 30 Juni 2007.

Adapun yang berpartisipasi dalam perjanjian ini adalah semua kementrian, departemen dan kantor Pemerintah Republik Indonesia, sementara BUMN dan lembaga pendidikan tidak termasuk dalam perjanjian ini.

Ketika itu, muncul kritik mengenai kesepahaman itu karena Pemerintah bakal menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk melegalkan piranti bajakan. Padahal di lain pihak, Indonesia dianggap sebagai motor pengembangan sistem operasi terbuka, bisa diakses dan dimodifikasi oleh siapa saja yang kerap disebut open source.

Motif Pemerintah ketika itu adalah ingin secepatnya memperbaiki peringkat Indonesia dalam daftar negara pengguna piranti lunak bajakan. Ketika itu, Indonesia menempati urutan ketiga terburuk di dunia dalam pengggunaan piranti lunak, terutama software komputer ilegal. Dari 5,9 juta personal computer (PC) yang beredar di Indonesia, sebanyak 87 persen masih menggunakan piranti lunak ilegal.

Posisi Indonesia yang disusul Vietnam dan Zimbabwe di urutan paling bawah itu diangkat dalam forum dialog Kadin Indonesia Komite Amerika Serikat (KIKAS) dan PT Microsoft Indonesia. Bahkan berdasarkan data BSA (Business Software Alliance), kerugian akibat praktik pembajakan software di Indonesia mencapai US$280 juta.

Posisi ini cukup menyulitkan Indonesia, terutama berkaitan dengan negosiasi dagang antarnegara, seperti antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Negeri Paman Sam sering menjadikan masalah pembajakan software sebagai bagian dari negosiasi perdagangan yang kemudian dijadikan bahan retaliasi terkait dengan beberapa komoditas Indonesia seperti udang, tekstil dan sebagainya.

Bagaimana kabar posisi Indonesia setelah hampir 14 tahun? Adakah posisi negara ini berubah dalam daftar hitam pengguna piranti lunak bajakan? Menurut data BSA, di Indonesia, tingkat penggunaan software di kalangan perusahaan masih berada di atas 83 persen.

Karena itu, BSA melakukan kampanye clean up to the countdown yang bertujuan mendorong pemimpin perusahaan melegalisasikan aset software perusahaannya untuk mematuhi Undang-Undang (UU) Hak Cipta sebelum akhir tahun ini.

Tarun Sawney, Senior Director BSA untuk Asia Pasifik mengatakan, kampanye ini diharapkan menjangkau 10.000 perusahaan di seluruh Indonesia, yang dianggap rentan terhadap penggunaan software ilegal.

Sasaran Kampanye

Sasaran kampanye itu adalah perusahaan yang bergerak dalam berbagai industri, termasuk manufaktur, konstruksi, perbankan dan keuangan, teknik, arsitektur, media, desain, teknologi informasi, dan perawatan kesehatan. Banyak perusahaan di industri tersebut diketahui menggunakan berbagai software tanpa izin resmi.

“Tingkat penggunaan software di kalangan perusahaan saat ini sangat tinggi, di luar kewajaran, dan itu dapat menimbulkan sejumlah risiko bagi masyarakat, komunitas bisnis, dan keamanan nasional,” katanya, belum lama ini.

Menurutnya, penegakan hukum serius oleh Pemerintah Indonesia juga sangat membantu upaya mengurangi penggunaan perangkat lunak ilegal tersebut. Selain itu, pemimpin perusahaan di Indonesia pun menurutnya perlu memastikan perusahaannya mematuhi peraturan dan memberi pesan bahwa penggunaan software tidak berizin tidak dapat diterima dan dapat menimbulkan risiko serius bagi perusahaan serta pelanggannya.

Menurut BSA, pemerintah Indonesia memiliki peluang mengurangi tingkat penggunaan software ilegal secara nasional. Peta jalan yang ditawarkan BSA mencakup upaya bersama dalam menegakkan dan mengedukasi pemimpin perusahaan untuk menghapuskan penggunaan software tidak berizin oleh perusahaannya. BSA mendorong pemerintah Indonesia menetapkan sasaran pengurangan penggunaan software ilegal jangka pendek dan jangka panjang.

“Untuk jangka pendek, sasarannya adalah mengurangi tingkat penggunaan software ilegal di kalangan perusahaan di Indonesia di bawah angka saat ini, 80 persen, yang sangat berisiko terhadap keamanan data,” kata Sawney.

“Dalam jangka panjang, Indonesia perlu menurunkan tingkat penggunaan software ilegal hingga mendekati rata-rata kawasan, yang saat ini berada di angka 57 persen. Kedua hal tersebut dapat dicapai apabila pemerintah bertekad bulat dalam menindaklanjutinya secara sungguh-sungguh.”

Sementara itu, Sarno Wijaya, Direktur Teknologi Informasi, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), menyatakan bahwa kegagalan dalam menekan tingkat penggunaan software ilegal akan memicu penyebaran malware.

Seringkali, malware tersembunyi dan hadir bersamaan dengan software tidak berizin, memanfaatkan kelemahan pada software yang tidak menerima pembaruan secara rutin karena tidak berizin.

“Kami menghargai prakarsa BSA, yang secara gencar memberikan pendidikan dan mendorong kalangan pengusaha untuk mengesahkan aset software perusahaannya. Dengan demikian, kita dapat menciptakan ekosistem siber aman dan bersih sebelum memasuki dasawarsa baru,” ucapnya.

Kampanye clean up to the countdown adalah bagian dari prakarsa legalize and protect, yang diluncurkan pada awal tahun ini. Sejauh ini, prakarsa tersebut membantu ribuan perusahaan di Indonesia untuk mengesahkan software mereka dan melindungi data perusahaannya, baik dari malware maupun peretas.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper