Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sebulan Jokowi-Ma'ruf : Antara Sabar Menunggu dan Sudah Cemas

Masyarakat sipil masih membutuhkan waktu 100 hari untuk mengukur prospek pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay di Jakarta, Minggu (24/11/2019)/Bisnis.com-Samdysara Saragih
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay di Jakarta, Minggu (24/11/2019)/Bisnis.com-Samdysara Saragih

Bisnis.com, JAKARTA -- Masyarakat sipil masih membutuhkan waktu 100 hari untuk mengukur prospek pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Terhitung sejak pelantikan 23 Oktober 2019, Kabinet Indonesia Maju (KIM) telah 1 bulan mengemban amanah. Meskipun terdapat pro dan kontra dalam pemilihan anggota KIM, waktu 30 hari dinilai belum cukup untuk menilai performa mereka.

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengamati bahwa pesimisme terhadap KIM masih mengemuka dari elemen kompetitor Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019. Tiadanya ide-ide untuk memecahkan persoalan bangsa secara komprehensif turut berkontribusi menambah sentimen negatif.

"Kayaknya saat ini lebih bicara ide-ide seperti teknologi informasi. Tapi apakah persoalan absolut kita di sana?" ujarnya usai acara diskusi di Jakarta, Minggu (24/11/2019).

Hadar menjelaskan bahwa penilaian terhadap performa pemerintahan baru idealnya dilakukan setelah 100 hari bekerja. Ironisnya, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf tidak memiliki program 100 hari. 

Untuk itu, kata dia, masyarakat sipil perlu membuat evaluasi tersendiri bagaimana jalannya pemerintahan setelah 3 bulan plus 10 hari. Penilaian dilakukan sektor per sektor sehingga kekurangan dan strategi untuk mengatasinya dapat menjadi masukan pemerintah.

"Dalam 100 hari ke depan masak sih tidak ada strategi dan tugas-tugas apa yang sudah dicapai," kata mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini.

Tanpa perlu menunggu 100 hari, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus justru sudah cemas membayangkan kerja pemerintahan ke depan. Pasalnya, dalam tempo 1 bulan sejumlah isu kontroversial langsung terlontar seperti wacana mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD.

Menurut Lucius, wacana tersebut tidak bisa dianggap enteng karena keluar dari pemerintah. Bukan mustahil, ide tersebut bisa disetujui oleh DPR mengingat koalisi pemerintah dominan di Senayan.

"Atas nama kompromi partai-partai sistem bisa semalam diubah tanpa berkontak dengan rakyat," ucapnya.

Sementara itu, mayoritas masyarakat Indonesia masih menaruh harapan besar kepada pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Berdasarkan survei Indonesia Political Opinion di 27 provinsi dari 30 Oktober-2 November, sebanyak 64% responden optimistis dengan komposisi KIM, sedangkan 23% responden menyatakan pesimisme.

"Dengan kondisi di atas 50% publik optimistis, Pak Jokowi dianggap berhasil menyusun kabinet," kata Direktur Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu (23/11/2019).

Dedi menambahkan bahwa kepercayaan publik juga terekam dalam penempatan personalia KIM. Berdasarkan survei IPO, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menduduki peringkat teratas daftar anggota KIM yang paling tepat dengan jabatannya.

Sebanyak 24,3% responden menggap Ketua Umum DPP Partai Gerindra tersebut pas memimpin Kementerian Pertahanan. Di bawahnya adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani 19,3%, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir 11,2%, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama 10,9%, disusul Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud M.D.

Jubir Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Kholid berpandangan tingkat optimisme sebesar 64% bukan catatan spesial. Menurut dia, angka tersebut masih mencerminkan perolehan suara dukungan terhadap Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019.

"Masih rendah menurut saya. Ini jadi peringatan juga. Publik menganggap kabinet tambun, tidak bergerak lincah," ujarnya.

Kholid menilai masyarakat masih menghendaki eksisnya kekuatan oposisi di parlemen. Faktanya, partai politik yang tidak mengusung Jokowi-Ma'ruf sudah bergabung dalam KIM.

PKS, kata dia, memilih berada di luar kekuasaan untuk mempertahankan mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi. Jangan sampai, pemerintah mendapatkan pujian melulu tanpa diimbangi dengan kritik memadai.

"Kami ingin menghadirkan demokrasi yang sehat," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper