Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KPK Tantang Sjamsul Nursalim Temui Penyidik

Sjamsul dan Itjih Nursalim sebelumnya tidak kooperatif ketika dipanggil tim penyidik KPK terkait kasus dugaan korupsi SKL BLBI. Keduanya mangkir pada panggilan 28 Juni dan 19 Juli lalu.
Sjamsul Nursalim tersangka BLBI. / Ilham Mogu
Sjamsul Nursalim tersangka BLBI. / Ilham Mogu

Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi kuasa hukum tersangka Sjamsul Nursalim terkait dengan penerbitan Red Notice terhadap kliennya tersebut.

Kubu Sjamsul menilai bahwa permintaan red notice tidak berdasar lantaran Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim, berada di Singapura dan tak melarikan diri.

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa red notice pada keduanya belum diterbitkan. Hanya saja, keduanya resmi masuk ke Daftar Pencarian Orang (DPO) menyusul permintaan ke Mabes Polri pada September 2019.

"Kami terbitkan DPO, karena sudah dipanggil berkali-kali secara patut ke sejumlah alamat sudah diumumkan juga ke KBRI yang bersangkutan tidak datang," paparnya, Jumat (22/11/2019) malam.

Febri mengatakan bahwa Sjamsul dan Itjih Nursalim sebelumnya tidak kooperatif ketika dipanggil tim penyidik KPK terkait kasus dugaan korupsi SKL BLBI. Keduanya mangkir pada panggilan 28 Juni dan 19 Juli lalu.

Namun, jauh sebelum itu pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim tak pernah hadir sebanyak tiga kali pada 2018 saat kasus ini masih dalam tahap penyelidikan.

Adapun sebelumnya surat panggilan pemeriksaan telah dikirim ke lima alamat berbeda masing-masing di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, dikirim ke alamat Simprug W.G 9, Grogol Selatan, Jakarta Selatan.

Sementara untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke alamat 20 Cluny Road; Giti Tire Pte. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley; dan 18C Chatsworth Rd.

Tak hanya itu, KPK juga sebelumnya telah meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkan nama keduanya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura. Keduanya diduga berada di Singapura dengan status tinggal tetap (permanent residency).

Bahkan, KPK juga telah meminta bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), Singapura selaku komisi antikorupsi di negara itu. Hanya saja, hingga saat ini belum membuahkan hasil.

Atas dasar itu, KPK lantas meminta Sekretariat Biro Pusat Nasional (NCB) atau Set NCB-Interpol Indonesia untuk melakukan pencarian terhadap kedua tersangka. Permintaan melalui surat telah dilayangkan pada Sekretaris NCB-Interpol Indonesia Brigjen Pol. Napoleon Bonaparte.

Selain itu, isi surat juga meminta permohonan bantuan pencarian melalui mekanisme Red Notice Interpol dengan permintaan apabila keduanya ditemukan agar segera dilakukan penangkapan dan menghubungi KPK

"Ini ada dasar hukumnya, di pasal 12 UU 30 tahun 2002 yang sudah diubah saat ini jadi KPK dapat bekerja sama dalam penyidikan dengan Interpol atau organisasi terkait untuk kebutuhan penanganan perkara," tuturnya.

Menurut Febri, jika Sjamsul dan Itjih merasa tidak melakukan pelanggaran terkait dengan pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) maka diharapkan datang untuk memberikan penjelasan ke penyidik.

"Sebenarnya kalau ada itikad baik ketika kita panggil pemeriksaan sebagai tersangka datang saja ke Indonesia dan kalau memang yakin betul memiliki bukti tidak lakukan korupsi silakan lihatkan itu ke penyidik pasti akan kami pelajari lebih lanjut," ujarnya.

Dalam perkara ini, KPK menduga Sjamsul dan Itjih melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun, yang kemudian menjadi dasar kerugian keuangan negara senilai Rp4,58 triliun dari hasil hitungan BPK.

Penetapan Sjamsul dan Itjih berdasarkan hasil pengembangan perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.

Saat dilakukan Financial Due Dilligence(FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa Sjamsul melakukan misrepresentasi dan aset tersebut tergolong macet.

Pada 24 Mei 2007, PT Perusahaan Pengelola Aset melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp220 miliar. Padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun.

Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ilham Budhiman
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper