Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jelang Pelantikan Jokowi-Ma'ruf : Menimbang Koalisi Gemuk vs Oposisi Macan Ompong

Lima hari lagi, tepatnya pada 20 Oktober 2019, Joko Widodo alias Jokowi dan KH. Ma'ruf Amin akan resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2014. Menjelang pelantikan dan pengumuman kabinet, upaya mempertebal koalisi terus berlangsung. Di sisi lain, kekuatan oposisi kini terkesan bakal menjadi seperti macan ompong.
Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019)./Antara
Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Lima hari lagi, tepatnya pada 20 Oktober 2019, Joko Widodo alias Jokowi dan KH. Ma'ruf Amin akan resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2014. Menjelang pelantikan dan pengumuman kabinet, upaya mempertebal koalisi terus berlangsung. Di sisi lain, kekuatan oposisi kini terkesan bakal menjadi seperti macan ompong.

Pemerintahan Jokowi - Ma'ruf Amin diprediksi akan menghadirkan koalisi gemuk yang tidak sebanding dengan kekuatan oposisi. Gerindra dan Demokrat memberi sinyal kuat akan meninggalkan PKS dan PAN, lalu merapat ke pemerintahan.

"Oposisi hanya akan menjadi macan ompong. Tak akan punya gigi dan nyali untuk mengkritik pemerintah," ujar pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin, seperti dikutip Tempo.co, Senin, 14 Oktober 2019.

Ujang mengkhawatirkan, kondisi ini akan menyebabkan kekuasan tanpa kontrol. Mengutip Lord Acton, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely". Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup. 

"Jadi, sebaiknya Demokrat dan Gerindra bersama-sama rakyat di luar pemerintah agar fungsi checks and balance itu berjalan," ujar Ujang.

Usai Pilpres 2019, Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat pecah kongsi. PAN baru-baru ini menyatakan sikap mengikuti jejak PKS yang sudah sejak awal teguh di jalan oposisi.

"PAN sudah mengambil sikap yang jelas, yaitu berada di luar kabinet. Demokrasi membutuhkan checks and balances," ujar Anggota Dewan Kehormatan PAN Drajad Wibowo saat dihubungi Tempo pada Ahad, 13 Oktober 2019.

Jika bekas koalisinya merapat ke pemerintahan, PAN juga tak mempersoalkan. "Itu hak partai masing-masing. Para pendukung Prabowo-Sandi juga mempunyai hak mengambil sikap, apakah sepakat dengan beliau berdua atau justru merasa kecewa," ujar Drajad.

Manuver Prabowo

Prabowo belakangan rajin melakukan manuver. Selain bertemu Jokowi, Prabowo juga menemui sejumlah ketua umum dari Koalisi Indonesia Kerja.

Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan sejauh ini peluang Gerindra berkoalisi dengan pemerintahan adalah 50:50. Konsep ketahanan pangan, energi, ekonomi serta pertahanan dan keamanan yang ditawarkan Gerindra juga diklaim telah diterima Jokowi.

Santer beredar informasi Gerindra menginginkan pos-pos menteri sesuai bidang tersebut. Sejauh ini, calon yang menguat adalah Edhy Prabowo dan Fadli Zon. "Pokoknya kalau kemudian kami masuk [koalisi Jokowi], ya itu posnya kemungkinan ada untuk Pak Fadli," ujar Dasco, Jumat lalu.

Adapun Demokrat, sudah menyatakan mendukung pemerintah. Namun, masih menunggu diajak berkoalisi oleh kubu Jokowi. "Kami mendukung pemerintahan mendatang tanpa syarat. Soal apakah akan dimasukkan dalam koalisi, kan itu tergantung Pak Jokowi dan partai-partai lain," ujar Wasekjen Demokrat Andi Arief saat dihubungi Tempo, Ahad, 13 Oktober 2019.

Oposisi Tersisih

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebut sudah melihat tanda-tanda matinya oposisi ini sejak kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dengan murah diberikan pada kubu oposisi.

Kursi-kursi pimpinan di alat kelengkapan Dewan, atas nama proporsionalitas, diberikan rata untuk semua partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Lucius, pembagian jabatan itu sebagai politik suap yang sejak awal dilakukan untuk melemahkan kelompok oposisi.

Lucius menilai praktik ini bahaya bagi demokrasi karena oposisi yang menjalankan fungsi kontrol disuap dengan kursi-kursi jabatan. “Itu artinya penting sekali masyarakat sipil untuk memastikan kontrol di DPR terus terjadi,” ucap dia.

Belum lagi, semua pucuk pimpinan di parlemen kini dikuasai partai pendukung pemerintah. Kursi Ketua DPR diduduki Puan Maharani dari PDIP dan Ketua MPR dijabat Bambang Soesatyo dari Golkar, partai pendukung pemerintah. La Nyalla Mattalitti, pendukung Presiden Joko Widodo atau Jokowi, juga menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah. Oposisi Tersisih

Dosen ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menyebut fenomena politik seperti sekarang ini sebagai "the winner takes all", pemenang pemilihan umum mengambil semua posisi strategis. "Kondisi ini ada sisi baik dan buruknya," ujar Adi saat dihubungi Tempo, Kamis, 3 Oktober 2019. 

Sisi baiknya adalah bisa dipastikan semua kebijakan politik pemerintah aman tanpa protes berarti dari parlemen. "Kabar buruknya adalah matinya oposisi di parlemen."

Kosongnya pos-pos kritis ini, ujar Adi, bisa memantik munculnya oposisi jalanan seperti yang dilakukan mahasiswa belakangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : JIBI
Editor : Saeno
Sumber : TEMPO.CO
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper