Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Karhutla : Harap Harap Cemas di Negeri Asap

"Kata teman-teman saya yang orang Malaysia, tahun ini paling parah. Sebelumnya tidak pernah separah ini asapnya," ujar Rizqiyyah Al Husanaa, Rizqiyyah Al Husanaa, Mahasiswi International Centre for Education in Islamic Finance (Inceif) asal Indonesia.
Kondisi udara Kota Kuala Lumpur masih tampak berkabut pada Minggu (22/9/2019)./Antara
Kondisi udara Kota Kuala Lumpur masih tampak berkabut pada Minggu (22/9/2019)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Sekitar seminggu belakangan ini Rizqiyyah Al Husanaa tidak membuka jendela apartemennya yang terletak di lantai 11 Residensi Kerinchi, Bangsar South, Kuala Lumpur, Malaysia.

Padahal, mahasiswi International Centre for Education in Islamic Finance, Inceif, asal Indonesia ini, biasanya menghabiskan sebagian hari di balkon, sambil memandang Bukit Angkasa yang berjarak sekitar 1,3 km dari kediamannya itu.

Kebiasaan itu tiba-tiba terhenti. Kini dari tempatnya berdiri, Bukit Angkasa tampak berselimut kabut asap. Bahkan asap juga melahap gedung-gedung tinggi di sekitar Bukit Angkasa. 

Dari apartemennya, Rizqiyyah harus berkendara untuk menuju kampus, yang otomatis mengharuskannya berada di luar ruang. Menurutnya, sejak asap muncul, suhu udara semakin panas dan tenggorokannya menjadi cepat kering.

"Kata teman-teman saya yang orang Malaysia, tahun ini paling parah. Sebelumnya tidak pernah separah ini asapnya," ujar Rizqiyyah. 

Karhutla : Harap Harap Cemas di Negeri Asap

Warga beraktivitas sambil mengenakan masker di kawasan jembaran ikonik Darul Hana, Kuching, Malaysia, Senin (16/9/19). Dampak kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang melanda di beberapa provinsi di Indonesia semakin meluas sehingga menimbulkan kabut asap yang memburuk di beberapa daerah di Malaysia./Antara

Malaysia adalah satu dari sekian negara tetangga langganan terdampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karhutla di Indonesia dalam kurun Januari hingga Agustus 2019 mencapai 328.722 hektare.

Riau menjadi salah satu daerah terluas dilanda karhutla, seluas 49.266 hektare, terdiri atas 40.553 hektare lahan gambut dan 8.713 hektare lahan yang terbentuk dari bahan mineral. 

Kejadian yang berulang hampir tiap tahun serta wilayah terdampak yang masif tentu sangat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat, terutama yang berdomisili di sekitar ribuan titik api tersebut.

Analisis terbaru Air Quality Life Index (AQLI) yang dihasilkan Energy Policy Institute at the Univercity of Chicago (Epic) Maret 2019 menunjukkan, rata-rata orang Indonesia kehilangan 1,2 tahun dari harapan hidupnya karena kualitas udara yang tidak memenuhi pedoman WHO untuk polusi partikulat halus. 

Menurut Riset ini, di Sumatra Selatan, penduduk Palembang rata-rata akan hidup 4,8 tahun lebih cepat jika tingkat polusi yang tinggi ini terus berlanjut. Di Ogan Komering Hilir, masyarakatnya kehilangan 5,6 harapan hidup, sedangkan warga Jakarta rata-rata akan kehilangan 2,3 tahun. Secara keseluruhan, jika kualitas udara tidak membaik, penduduk Indonesia akan kehilangan 309 juta tahun harapan hidup. 

Karhutla : Harap Harap Cemas di Negeri Asap

Seorang perempuan pengendara sepeda motor lemas di perempatan jalan, diduga karena terpapar kabut asap/Antara 

Riset ini menggarisbawahi bahwa polusi udara adalah ancaman terbesar bagi umat manusia, melampaui penyakit seperti TBC, HIV/AIDS, atau perilaku merokok, dan bahkan perang. 

Secara psikis, polusi udara karena karhutla juga memiliki dampak signifikan. Dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Feni Fitriani Taufik mengatakan anak yang hidup di lingkungan berpolusi tiga sampai empat kali lebih mungkin mengalami depresi berat saat menginjak remaja. Itu bisa terjadi karena ada gangguan ketika otak mereka sedang berkembang. 

"Bagi dewasa, gangguan kinerja otak dapat mengakibatkan kemunculan penyakit seperti Alzheimer atau Parkinson," kata Feni.

Studi Jacob King tentang polusi udara mengatakan, paparan Ozon dan PM2.5 atau partikulat debu melayang secara terus-menerus bisa mengakibatkan kerusakan neurovaskular, gangguan sistem yang menyebabkan tekanan pada otak manusia.

Perang Melawan Asap

Karhutla : Harap Harap Cemas di Negeri Asap

Nelayan menepikan perahunya, di antara kabut asap, di Padang, Sumatera Barat, Jumat (13/9/2019). Nelayan setempat mengaku terganggu aktivitas melaut akibat kabut asap kiriman yang tersebar hingga ke laut dan menurunkan jarak pandang./Antara

Penanganan bencana asap dan karhutla secara berkelanjutan dapat dipahami akan berbenturan dengan faktor pertumbuhan ekonomi. Di masa industrialisasinya, hal yang sama juga dihadapi London, Inggris, yang dikenal dengan sebutan the big smoke dan Los Angeles, AS, yang mendapat julukan the smog capital of the world.

Aktivis Lingkar Hijau Indonesia Sumatra Selatan Hadi Jatmiko mengatakan kabut asap pembakaran hutan merupakan jenis asap yang berbahaya bagi manusia. Sayangnya, pemerintah daerah (pemda) setempat belum merespons kondisi dengan cepat, juga tanggap. Padahal, urainya, indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Sumatra Selatan mencapai lebih dari 200 saat terjadi kebakaran. Artinya, tingkat kualitas udaranya sangat tidak sehat.

Hadi menuntut pemerintah memberikan fasilitas kesehatan gratis yang memadai kepada masyarakat sekitar terdampak. Pemberian masker yang layak, pemeriksaan rutin kesehatan, dan pengadaan rumah aman untuk bayi dan anak harus menjadi prioritas utama tindakan penanggulangan yang berorientasi pada masyarkat.

Dalam kerangka yang lebih luas, kebijakan pengendalian karhutla dan polusi udara dari pemerintah adalah yang utama. China, misalnya, pada 2014 menerapkan kebijakan nasional dalam rangka perang melawan polusi. Kini, kualitas udara China meningkat drastis, dengan partikulat polusi menurun hingga 32 persen. 

Demikian pula dengan India, yang menyatakan perang yang sama terhadap polusi sejak Januari 2019, dan menargetkan penurunan polusi udara 20 hingga 30 persen. Adapun negara-negara yang berhasil mendorong kebijakan penurunan polusi adalah Jepang, AS, dan Inggris.

Kebijakan-kebijakan itu mengharuskan negara merogoh kocek dalam-dalam, belum lagi memperhitungkan dampak ekonominya terhadap industri terkait. Namun, harga tersebut tentu tidak bisa dibandingkan dengan manfaat yang paling penting, yakni hidup masyarakat yang lebih lama dan lebih sehat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper