Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

China Siapkan 'Amunisi' untuk Hadapi Perpanjangan Perang Dagang

Para pembuat kebijakan China tampaknya tengah berupaya untuk menahan diri agar tidak meluncurkan paket stimulus secara terburu-buru.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menghadiri pertemuan bilateral kedua negara di sela-sela KTT G20 di Osaka, Jepang, Sabtu (29/6/2019)./Reuters-Kevin Lamarque
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menghadiri pertemuan bilateral kedua negara di sela-sela KTT G20 di Osaka, Jepang, Sabtu (29/6/2019)./Reuters-Kevin Lamarque

Bisnis.com, JAKARTA -- Para pembuat kebijakan China tampaknya tengah berupaya untuk menahan diri agar tidak meluncurkan paket stimulus secara terburu-buru.

Upaya ini dilakukan untuk menjaga opsi cadangan di tengah kebuntuan perang dagang dengan Amerika Serikat yang berisiko berubah menjadi perang mata uang global.

Bank Sentral China (PBOC) pada Jumat (9/8/2019) malam, menyerukan pandangan rasional pada tantangan yang dihadapi saat ini, menandakan bahwa pendekatan bank sentral yang ditargetkan untuk menopang output akan terus berlanjut.

Sementara itu, data investasi, penjualan ritel dan kredit yang akan dirilis pekan ini diproyeksikan menunjukkan bukti bahwa ekonomi terbesar kedua dunia ini mengalamai perlambatan berkelanjutan.

Dilansir melalui Bloomberg, para pejabat bank sentral bersikeras berpegang pada strategi moneter yang penuh kehati-hatian bahkan setelah keteganan perang dagang dengan AS memburuk pascatuduhan Presiden AS Donald Trump tentang manipulasi mata uang yang telah menambah sensitivitas terhadap langkah stimulus yang dapat menekan yuan.

Pada saat yang sama, melemahnya mata uang melewati 7 per dolar menghilangkan satu penghalang untuk pemotongan suku bunga jika perang perdagangan memburuk ke titik di mana tindakan yang lebih kuat diperlukan.

"Pembuat kebijakan baik-baik saja dengan keadaan ekonomi saat ini. Tetapi jika pertumbuhan terus melambat, pada titik tertentu, prioritas akan bergeser ke stabilisasi pertumbuhan," kata Larry Hu, Kepala Ekonom Kawasan China di Macquarie Securities Ltd., Hong Kong, seperti dikutip melalui Bloomberg, Senin (12/8/2019).

Sejumlah mantan gubernur bank sentral yang terkumpul dalam simposium kebijakan memperingatkan bahwa konfrontasi dengan AS makin dalam.

Chen Yuan, mantan wakil gubernur PBOC, mengatakan bahwa pelabelan AS atas China sebagai manipulator mata uang menandakan perang dagang berkembang menjadi perang finansial dan mata uang.

"Para pembuat kebijakan harus siap untuk sebuah konflik jangka panjang," ujar Chen dalam pertemuan China Finance 40 di Yichun, Heilongjiang.

Sementara itu, mantan gubernur PBOC Zhou Xiaochuan menyerukan upaya untuk meningkatkan peran global yuan guna menghadapi tantangan sistem keuangan berdenominasi dolar AS.

IMF melalui laporan tahunannya tentang ekonomi China mengatakan bahwa tantangannya bukan hanya dari dolar AS.

Menurut lembaga pemberi pinjaman itu, jika AS meningkatkan ancamannya saat ini untuk menambah 10% tarif tambahan pada sisa impornya dari China menjadi 25%, maka pertumbuhan akan terpangkas 0,8 basis poin, dan memicu dampak negatif signifikan secara global.

Dalam skenario seperti itulah China mungkin terpaksa beralih ke dukungan moneter yang lebih agresif, bahkan dalam menghadapi risiko utang dalam negeri yang meningkat dan gelembung harga aset.

Menurut laporan Institute of International Finance bulan lalu, upaya China untuk menopang pertumbuhan telah mendorong stok utang perusahaan, rumah tangga, dan pemerintah menjadi lebih dari 300% dari produk domestik bruto.

Namun demikian, setelah membiarkan yuan melemah melewati 7 per dolar, PBOC telah membebaskan diri dari batasan buatan yang telah mengikat selama bertahun-tahun.

Secara teori, ini merupakan sebuah kebijakan yang memungkinkan biaya pinjaman dikurangi lebih jauh tanpa harus menguatkan nilai tukar mata uang.

Adapun, jajaran pejabat PBOC telah mengisyaratkan bahwa reformasi sistem suku bunga yang akan datang dapat memungkinkan penurunan suku bunga dengan mentransmisikan kebijakan secara lebih efektif.

Untuk saat ini, pemerintah China tampaknya ingin mengelola mengelola perlambatan ekonomi jangka panjang daripada menahan kelanjutan penurunan, mengatasi pelemahan konsumsi jangka pendek dan menyalurkan dana senilai 2 triliun yuan melalui potongan pajak dan insentif investasi lokal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Achmad Aris
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper