Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tafsir Terlalu Luas, Direksi BUMN Berpotensi Terjerat UU Tipikor

Para pimpinan BUMN berpotensi terjerat kasus hukum, hanya karena penegak hukum terlalu luas menafsirkan pasal-pasal dalam UU Tipikor tersebut, seperti terkait kerugian yang dialami perusahaan.
Petugas pemadam kebakaran mengevakuasi korban saat simulasi penanggulangan kebakaran di gedung KPK, Jakarta, Jumat (14/9). Kegiatan tersebut untuk meningkatkan kesiapsiagaan sekaligus edukasi jika terjadi kebakaran di gedung lembaga antirasuah itu./Antara
Petugas pemadam kebakaran mengevakuasi korban saat simulasi penanggulangan kebakaran di gedung KPK, Jakarta, Jumat (14/9). Kegiatan tersebut untuk meningkatkan kesiapsiagaan sekaligus edukasi jika terjadi kebakaran di gedung lembaga antirasuah itu./Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Tafsir Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang terlalu luas oleh penegak hukum diniali menjadi ganjalan bagi pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjalankan tugas dan fungsinya.

Para pimpinan BUMN berpotensi terjerat kasus hukum, hanya karena penegak hukum terlalu luas menafsirkan pasal-pasal dalam UU Tipikor tersebut, seperti terkait kerugian yang dialami perusahaan.

“Tafsir yang sangat luas dari pasal-pasal di UU Tipikor yang menyebabkan banyak direksi BUMN yang kemudian dapat terjebak dalam kasus Tipikor, karena tafsir dari UU Tipikor memang merupakan wilayah tafsir dari para aparat penegak hukum,” ujar konsultan hukum Ary Zulfikar dari AZP Legal Consultants dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/7/2019).

Menurut Ary, aparat penegak hukum selalu mengkaitkan kekayaan negara termasuk aset atau kekayaan yang dimiliki, baik di BUMN maupun di anak perusahaan BUMN, sehingga jika ada kerugian di level BUMN maupun di level anak perusahaan BUMN, dianggap sebagai kerugian negara.

“Namun, di sisi lain tafsir aset BUMN atau anak perusahaan BUMN agak berbeda, jika berbicara tentang kewajiban atau utang BUMN atau anak perusahaannya, kita tidak pernah mendengar istilah bahwa utang perusahaan adalah utang atau kewajiban negara atau pemerintah,” jelasnya.

Dengan kondisi tersebut, dia menilai analogi aset BUMN adalah aset negara menjadi tidak relevan. Negara hanya memiliki saham pada BUMN yang dicatat sebagai kekayaan negara.

Menurutnya, negara hanya sebagai pemilik saham. Jika terkait dengan kekayaan BUMN, maka yang dilakukan oleh Direksi BUMN tentunya dalam bingkai UU Perseroan Terbatas.

Jika Direksi BUMN telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan iktikad baik, dan menjalankan good corporate governance sesuai dengan fiduciary duty sebagai direksi, lanjutnya, maka yang bersangkutan tidak bisa dikriminalkan.

Apabila ternyata jajaran direksi suatu BUMN tidak menjalankan prinsip fiduciary duty dan menyebabkan kerugian perusahaan, maka direksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata atas kerugian yang ditimbulkan.

Terkait dengan kasus-kasus kerugian negara yang terjadi akibat keputusan bisnis yang diambil jajaran direksi, Ary Zulfikar menegaskan, tindakan jajaran direksi tersebut tidak bisa dijerat kasus hukum jika sepanjang tindakan bisnis yang diambilnya sudah memenuh persyaratan dan prosedur yang ada di BUMN tersebut.

“Kriminalisasi terhadap business judgement rule tidak dapat dibenarkan, kecuali yang bersangkutan memang melakukan tindak pidana seperti menggelapkan dana perusahaan, melakukan penipuan dan lain sebagainya,” katanya.

Menurutnya, ada beberapa pasal di UU Tipikor yang tafsirnya terlalu luas. Ia menyebut Pasal 2, yang isinya menyebut meskipun direksi yang bersangkutan tidak menerima uang (bribery), sepanjang menyebabkan orang lain untung, maka direksi BUMN itu dapat dituntut pidana. “Tafsir ini sangat luas dan dapat disalahartikan dalam penerapannya,” ujar Ary.

Begitu juga dengan Pasal 12 huruf a UU Tipikor yang menyebutkan bagi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima ‘janji,’ meskipun tidak menerima uang, dapat dikenakan tindak pidana tipikor.

Bagi Ary, pertanggungjawaban pidana seharusnya baru dapat dikenakan jika memang sudah menjadi perbuatan nyata.

Di sinilah aparat penegak hukum, kata Ary, harus dapat memilah di mana unsur perbuatan pidana dan kerugian negara itu terjadi dengan mengkaitkan dengan adanya keuntungan pribadi bagi direksi yang bersangkutan.

Pengambilan keputusan bisnis yang sudah didasarkan pada prinsip good corporate governance, tanpa ada keuntungan pribadi seharusnya tidak dapat dikriminalkan. Karena hal tersebut hanya menyangkut capability atau incapability dari direksi bersangkutan.

“Tafsir yang sangat luas dari pasal-pasal di UU Tipikor inilah yang menyebabkan banyak direksi BUMN dapat terjebak dalam kasus Tipikor,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper