Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tarif Balasan China Mulai Pengaruhi Kegiatan Dagang

China telah menaikkan tarif pada puluhan miliar dolar terhadap produk impor Amerika Serikat sebagai bentuk penerapan aksi balasan akibat kebijakan perang dagang Presiden AS Donald Trump yang mengenakan tarif baru terhadap ekspor China senilai US$200 miliar.
Perang dagang AS China/istimewa
Perang dagang AS China/istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – China telah menaikkan tarif pada puluhan miliar dolar terhadap produk impor Amerika Serikat sebagai bentuk penerapan aksi balasan akibat kebijakan perang dagang Presiden AS Donald Trump yang mengenakan tarif baru terhadap ekspor China senilai US$200 miliar.

Sampai dengan Sabtu (1/6/2019), tarif tambahan yang dikenakan terhadap produk AS antara lain:

  • Tarif 25 persen untuk 2.493 item, naik dari 10 persen. Kenaikan tarif ini berlaku untuk produk seperti beberapa suku cadang mekanis, gas alam, dan produk perawatan kulit.
  • Tarif 20 persen untuk 1.078 item, naik dari 10 persen. Termasuk beberapa produk mesin, kayu dan instrumen optik.
  • Tarif 10 persen untuk 974 item, naik dari 5 persen. Termasuk kaca lembaran, laser dan katup kontrol.
  • Tarif 5 persen berikutnya untuk 595 item. Suku cadang mobil tidak termasuk.

Sebagian besar kenaikan tarif sudah diperkirakan oleh pasar di tengah semakin meningkatnya tantangan bagi ekonomi terbesar kedua dunia tersebut, di antaranya output yang melambat dan tanda-tanda tekanan keuangan ikut muncul.

Kedua negara telah mengisyaratkan bahwa mereka mengacu pada persaingan jangka panjang.

Seorang peneliti yang berafiliasi dengan pemerintah China melihat ketegangan yang berlangsung hingga 2035 dan pemerintah mengumumkan bahwa mereka akan berjuang sampai akhir jika AS terus meningkatkan serangan tarifnya.

Liu Peiqian, ahli strategi Asia di Natwest Markets Plc di Singapura, mengatakan bahwa dampak paling nyata dari tarif pembalasan akan terlihat pada sentimen terhadap pasar. Dia juga menambahkan bahwa pasar telah menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi di bulan Mei.

“Dampak ekonomi dari tarif akan minimal. Apa yang sebenarnya kita sedang saksikan adalah apakah apra pembuat kebijakan akan mengubah kebijakan moneter yang longgar,” ujar Liu, seperti dikutip melalui Bloomberg, Sabtu (1/6/2019).

Tarif bilateral telah merusak kegiatan perdagangan antara AS dengan China, ditambah lagi dengan penerapan tarif tambahan telah mengganggu rantai pasokan sejumlah produk meskipun sebagian besar eksportir telah melakukan pengiriman front-loading.

Sementara itu, sanksi tarif saat ini sudah mencakup lebih dari dua pertiga impor China dari AS, dampak yang sebenarnya masih dapat ditekan karena pemerintah akan mengizinkan perusahaan untuk mengajukan pengecualian.

Menurut Kementerian Keuangan China, produk yang diajukan untuk pengecualian akan terbebas dari tarif selama satu tahun setelah mendapat persetujuan.

Pesawat terbang, beberapa produk berbasis minyak bumi, bagian-bagian mesin turboprop, dan beberapa sirkuit terintegrasi adalah beberapa barang yang masih belum tercakup oleh sanksi tarif.

Sementara itu, perang dagang mulai bergerak keluar dari domain tarif, dengan sanksi blokir akses terhadap Huawei Technologies Co. kepada produsen AS atau untuk melakukan bisnis di sana.

Presiden AS Donald Trump bahkan ingin melakukan hal yang sama kepada perusahaan teknologi tinggi China lainnya.

Beijing telah menyiapkan rencana untuk membatasi ekspor hasil bumi langka ke AS jika diperlukan, karena kedua belah pihak dalam perang dagang sudah memperkirakan sengketa yang berkepanjangan.

Menurut pernyataan dari Kementerian Perdagangan China, pihaknya akan membuat daftar entitas yang disebut "tidak dapat diandalkan" untuk menargetkan perusahaan yang menurt merea merusak kepentingan perusahaan domestik.

Langkah ini berpotensi menyasar industri teknologi global yang lebih luas.

“Ketidakpastian seputar sengketa perdagangan, khususnya pembatasan teknologi, mungkin masih membebani sentimen. Masih ada banyak ketidakpastian terutama terkait dengan pembatasan teknologi,” tulis Wang Hanfeng, seorang analis di China International Capital Corp., dalam sebuah catatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nirmala Aninda
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper