Bisnis.com, JAKARTA – Aceh memiliki tradisi unik menjelang Ramadan, namanya meugang atau makmeugang. Tradisi ini berlangsung turun-temurun sejak masa Kesultanan Aceh beberapa abad lalu yang masih dilaksanakan hingga kini.
Meugang merupakan adat membeli, mengolah, hingga menyantap daging bersama keluarga.
Biasanya, 1 atau 2 hari sebelum memasuki bulan puasa, masyarakat berbondong-bondong ke pasar untuk membeli daging. Hasilnya diolah menjadi makanan khas sebelum dinikmati sebagai lauk.
Selama perayaan meugang, mudah sekali menemukan berbagai menu masakan khas dibuat oleh warga, mulai dari kari kameng atau kari kambing, sie reuboh atau daging rebus, hingga sie puteh atau daging putih. Menu itu dibuat bergantung pada tiap-tiap daerah di Aceh.
Bagi sebagian masyarakat, selama meugang, anak-anak kerap tidak diizinkan untuk makan di rumah tetangga oleh orang tua mereka. Mereka wajib menikmati berbagai menu dengan bahan dasar daging itu di rumah.
Meugang seakan menjadi tradisi wajib sebelum berlangsungnya puasa Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha.
Menurut riwayat, tradisi ini pertama kali berlangsung pada masa Kerajaan Aceh Darussalam ratusan tahun lalu. Kebiasaan ini bermula saat sultan memutuskan untuk membagikan daging, uang, hingga kain kepada kalangan fakir miskin, duafa, dan penyandang disabilitas. Kebiasaan itu berlangsung persis pada waktu meugang.
Lalu, saat Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607—1636), tradisi ini semakin menguat. Sultan bahkan membagikan koin emas kepada kaum yang membutuhkan.
Budayawan Aceh Tarmizi Abdul Hamid mengatakan bahwa tradisi meugang mulai resmi dilaksanakan pada masa Sultan Iskandar Muda.
“Setelah dikeluarkan maklumat melalui Qanun Meukuta Alam pada 1608 Masehi tentang meugang,” katanya, Jumat (3/5).
Sebelum pelaksanaan meugang, Sultan Iskandar Muda memerintahkan otoritas resmi kerajaan atau Qadi Mua`azzam Khazanah Balai Silaturrahmi untuk mendata para fakir, miskin, anak yatim, dan penyandang disabilitas.
Sultan lalu memerintahkan bawahannya untuk menyediakan uang dirham, kain-kain, kerbau, dan sapi.
Pihak kerajaan lalu membagikan daging, uang, lima koin emas, dan kain sepanjang enam hasta. Hitungan hasta merujuk pada ukuran panjang dari ujung jari hingga siku. Sultan memercayakannya kepada keuchik atau kepala desa di Aceh untuk membagikannya.
Dalam Qanun Meukuta Alam Bab 2 Pasal 47 disebutkan bahwa pemberian bekal pada hari meugang itu merupakan wujud kecintaan sultan kepada rakyatnya.
Menurut Tarmizi atau akrab disapa Cek Midi ini, penamaan meugang atau makmeugang diambil dari sebuah kawasan yang makmur dan menjadi tempat persinggahan para saudagar kaya yang alim dengan kapal-kapal besar di wilayah Peunayong, Bandar Aceh Darussalam tempo dulu.
Tempat itu dijadikan sebagai lokasi menyembelih ternak menjelang Ramadan. Kemakmuran di kawasan kemudian terdengar hingga seantero Aceh.
Tanpa kesepakatan bersama, tradisi menjelang Ramadan ini kemudian disebut meugang atau makmeugang.
Warga memadati pasar untuk membeli daging sapi pada perayaan tradisi Meugang Ramadhan 1440 Hijriah, di pasar tradisional Lhokseumawe, Aceh, Minggu (5/5/2019). Meugang merupakan tradisi turun temurun masyarakat Aceh tanpa perbedaan kaya dan miskin dengan berbondong bondong membeli daging untuk dimasak dan disantap bersama keluarga yang dilaksanakan setahun tiga kali yaitu menyambut bulan Suci Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. ANTARA FOTO/Rahmad
DAGING SEGAR
Tradisi ini juga menjadi marwah bagi kaum pria untuk membawa pulang daging segar dan diberikan kepada istri mereka.
Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan daging ternak berbadan besar, tetap mengupayakan membeli ayam. Bagi sebagian masyarakat, meskipun tengah dalam kesusahan, daging meugang itu wajib walapun hanya sedikit.
Di Aceh, tradisi ini ikut disemarakkan di kantor-kantor baik pemerintahan maupun swasta. Pimpinan di kantor saban meugang selalu mengupayakan daging untuk karyawannya.
Di sebagian tempat kerja juga memanfaatkan waktu untuk berkumpul dengan seluruh keluarga karyawan menyantap meugang bersama.
“Meugang juga memberi kesempatan bagi orang kaya untuk bersedekah dan anak yatim, kaum duafa untuk bisa ikut makan daging dengan orang lain. Status masyarakat Aceh saat meugang sama, baik si kaya dan si miskin,” katanya.
Hal itu diakui oleh masyarakat Aceh. Tradisi meugang secara turun-temurun telah berlangsung setiap tahun. Bahkan, tradisi ini menjadi pelengkap perayaan jelang puasa di Serambi Makkah.
“Bagi sebagian masyarakat, rasanya kurang pas kalau menyambut Ramadan tanpa melaksanakan meugang dan membeli daging,” kata Ahmadi, warga Aceh di Aceh Selatan.
Warga asal Aceh di Jakarta juga tak ketinggalan, Dofa Muhammad Aliza, misalnya. Baginya, meugang sebagai salah satu upaya merawat tradisi yang ditinggalkan moyang untuk generasi masa kini.
Tradisi ini juga dapat dianggap sebagai bentuk suka cita masyarakat menyambut bulan suci.