Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Banjir Tudingan usai Pesta Demokrasi, Antara Pengawasan dan Upaya Delegitimasi KPU

Segera setelah masyarakat selesai mencoblos dan data hitung cepat ditampilkan, berseliweran konten digital yang mengesankan adanya aksi curang, terutama mengakali hitungan masuk Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Siluet Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman saat melakukan monitoring rekapitulasi penghitungan perolehan suara Pemilu 2019 melalui aplikasi Situng di Gedung KPU, Jakarta, Sabtu (20/4/2019). KPU menegaskan Situng hanya merupakan informasi dan tidak akan mempengaruhi penetapan hasil Pemilu 2019 karena rekapitulasi resmi tetap dilakukan secara manual./ANTARA FOTO-Rivan Awal Lingga
Siluet Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman saat melakukan monitoring rekapitulasi penghitungan perolehan suara Pemilu 2019 melalui aplikasi Situng di Gedung KPU, Jakarta, Sabtu (20/4/2019). KPU menegaskan Situng hanya merupakan informasi dan tidak akan mempengaruhi penetapan hasil Pemilu 2019 karena rekapitulasi resmi tetap dilakukan secara manual./ANTARA FOTO-Rivan Awal Lingga

Bisnis.com, JAKARTA – Pada 19 April 2019, hitungan data masuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) di wilayah pemilihan Tempat Pemungutan Suara (TPS) 087, Kelurahan Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur menunjukkan suara untuk pasangan calon (paslon) nomor urut 01 sebanyak 160, sedangkan paslon 02 sebesar 81. Hal itu memicu keributan, khususnya di ranah media sosial.

Hasil form C1 dari TPS yang bersangkutan bertebaran. Faktanya, paslon 01 hanya mengantongi sebanyak 44 suara, sedangkan paslon 02 sebesar 200 suara.

Konten digital berupa tangkapan layar C1 itu menggelinding di ranah media sosial. Tak jarang, komentar di kolom laman yang menautkan, mencerca bahwa KPU beserta penyelenggara lainnya sudah merekayasa hasil.

Namun, sehari kemudian, berdasarkan pengecekan Bisnis, hitungan data masuk KPU telah dikoreksi. Hasilnya sesuai dengan form C1 TPS 087, Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, yakni paslon 01 mendapatkan 44 suara dan paslon 02 mengantongi 200 suara.

Banjir Tudingan usai Pesta Demokrasi, Antara Pengawasan dan Upaya Delegitimasi KPU

Pekerja memasukkan data ke Sistem Informasi Penghitungan (Situng) DKI Jakarta di Hotel Merlyn Park, Jakarta, Minggu (21/4/2019)./ANTARA-Reno Esnir

Selesai? Belum, saling serang antar kubu pendukung paslon 01 dan paslon 02 terus berlangsung.

Para pendukung paslon 01 tampak lebih banyak membentengi citra KPU yang seolah sengaja didelegitimasi. Sebaliknya, kubu seberang menyerang dengan dalih data masuk KPU banyak bolong.

Konten digital lain terkait tangkapan layar form C1 yang banyak disebar adalah hasil pencoblosan di TPS 025, Desa Banjarnegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng), Sabtu (20/4/2019). Tangkapan layar C1 tersebut menampilkan data suara paslon 01 sebanyak 100 suara dan paslon 02 sebesar 76 suara.

Sebaliknya, tangkapan layar itu disandingkan dengan tangkapan layar data KPU. Isinya, suara paslon 01 sebanyak 170 dan paslon 02 sebesar 75 suara, seolah terjadi penggelembungan. 

Namun, sewaktu Bisnis melakukan cek fakta ke laman resmi KPU yang menampilkan data perhitungan suara, ternyata terjadi rekayasa tangkapan layar. Buktinya, dalam laman resmi KPU, data yang tertera sudah sesuai dengan isian suara form C1.

Dari dua kejadian tersebut, memang beberapa kali terlihat adanya kesalahan memasukkan data suara dari petugas KPU pusat.

Ada pula yang menunjukkan adanya rekayasa tangkapan layar untuk mengesankan adanya kecurangan yang dilakukan KPU. Singkatnya, ada yang memainkan konten digital palsu atau hoaks.

Integritas KPU pun bergoyang dan legitimasi kinerja KPU seakan ingin dikikis. Ribut di ranah media sosial berkelindan dengan tensi tinggi seusai pemungutan suara.

Narasi kecurangan mulai bermunculan.

Banjir Tudingan usai Pesta Demokrasi, Antara Pengawasan dan Upaya Delegitimasi KPU

Puluhan karangan bunga terpasang di depan Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Sabtu (20/4/2019). Karangan bunga tersebut merupakan apresiasi masyarakat kepada KPU atas keberhasilannya menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) 2019./ANTARA-Puspa Perwitasari

Di sisi lain, terjadinya banyak koreksi dari publik mengisyaratkan hal sebaliknya. Kini, KPU mempunyai sistem terbuka yang gampang diakses publik, minimal untuk mencocokkan data lapangan dengan tabulasi suara di pusat menggunakan form C1. 

Guna menenangkan publik, Ketua KPU Arief Budiman pun buru-buru angkat bicara. Dia menegaskan lembaganya tak mungkin melakukan kecurangan. 

Arief mengatakan proses penghitungan yang dilaksanakan oleh KPU sudah transparan serta bisa diawasi oleh para pemangku kepentingan yang terlibat.

Selain membuka pusat informasi penghitungan dan rekapitulasi suara (Situng), KPU juga mengizinkan masyarakat dan stakeholder terkait untuk turut menyaksikan rapat pleno yang dilaksanakan oleh KPU.

"Ini terbuka. Kalau ada yang menduga bahwa kami lakukan kecurangan, masa kami publikasikan? Jadi saya tegaskan tidak ada niat untuk curang. Kalau terjadi kesalahan input, itu saya menduga murni karena human error," ujarnya. 

Lebih lanjut, terjadinya kesalahan input data di laman pemilu2019.kpu.go.id disebabkan oleh faktor kelelahan pihak KPU kota/kabupaten yang bekerja melampaui batas. 

Arief pun memastikan pihaknya akan segera mengoreksi data yang dimasukkan apabila memang ada perbedaan antara data yang tertera di pemilu2019.kpu.go.id dengan form C1.

Banjir Tudingan usai Pesta Demokrasi, Antara Pengawasan dan Upaya Delegitimasi KPU

Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto (tengah) bersama calon wakil presiden Sandiaga Uno dan petinggi partai pendukung mengangkat tangan saat mendeklarasikan kemenangannya pada Pilpres 2019 kepada awak media di kediaman Kertanegara, Jakarta, Kamis (18/4/2019)./ANTARA-Indrianto Eko Suwarso

Tensi Tinggi
Tensi tinggi usai pesta demokrasi disebut Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana sebagai pemicu serangan bertubi-tubi kepada penyelenggara Pemilu 2019.

“Tensinya masih tinggi, sehingga ada kesan muncul narasi kecurangan. Padahal, dalam Pemilu kali ini, semua serba transparan dan bisa dipantau siapapun, jadi pemain yang terlibat banyak,” terangnya kepada Bisnis, Minggu (21/4).

Selaku pengamat politik, Aditya menilai hal itu dibutuhkan agar koreksi dan pengawasan terhadap kinerja KPU tetap berjalan.

“Kalau diambil kesimpulan secara proporsional, ini wajar. Dan sehat jika untuk mengawasi terus kinerja penyelenggara Pemilu,” imbuhnya. 

Aditya menilai kubu 02, yang disebut hasil hitung cepat berbagai lembaga survei sebagai pihak yang kalah, membutuhkan narasi yang tetap melecut agar seluruh komponen koalisinya tetap awas.

Sejauh ini, dengan hasil pemetaan suara legislatif yang juga telah ditampilkan selama proses hitung cepat, dia memandang ada potensi keretakan di dalam kubu tersebut. Pasalnya, tiap partai dan calon legislatif pada gerbong paslon 02 menyadari bahwa kompetisi telah usai.

Hal senada diungkapkan mantan Ketua KPU periode 2016-2017 Juri Ardiantoro. Menurutnya, prosedur pemungutan suara telah mempunyai mekanisme pengawasan berjenjang yang melibatkan banyak saksi dari para kontestan Pemilu 2019. 

“Para pengawas dan saksi mereka semua memegang bukti salinan C1, sehingga dengan mudah akan ketahuan jika terjadi kecurangan, yang hasilnya bisa dicocokkan dengan Situng KPU,” jelas Juri. 

Banjir Tudingan usai Pesta Demokrasi, Antara Pengawasan dan Upaya Delegitimasi KPU

Warga dengan mengenakan topeng calon presiden (capres) serta calon wakil presiden (cawapres) Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno melakukan aksi pesan damai di Solo, Jawa Tengah, Minggu (21/4/2019)./ANTARA-Mohammad Ayudha

Aktivis dari Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengungkapkan narasi kecurangan yang dibangun selama proses Pemilu 2019, akan sulit dibuktikan. Dia memandang kecurangan yang sifatnya struktural dan massif untuk memenangkan salah satu kubu, dengan mudah menguap ke publik.

“Selama ini bisa dicek, baik Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ataupun KPU, kekuatan politik tersebar, itu dari pusat belum ke daerah. Sehingga, para penyelenggara itu tidak bisa satu suara, satu warna, jadi tidak mungkin bisa diarahkan ke salah satu kubu tanpa ada perlawanan di dalam,” tutur Ray. 

Rekonsiliasi
Persoalan kemudian, perang dan damai bagi masyarakat seolah masih tergantung elite. Rekonsiliasi pun penting dilakukan, sama seperti di tingkat elite.

Hal ini, tegas Aditya, penting dilakukan agar rebutan kekuasaan antara elite politik, tidak memicu konflik horizontal berkepanjangan.

“Persoalannya memang demikian. Di Indonesia, elite masih jadi kunci,” ucapnya.

Begitupun kemungkinan adanya gelombang protes massal yang telah didengungkan beberapa pihak selama kompetisi kekuasaan pada Pemilu 2019. Aditya berpendapat masing-masing elite harus berhitung matang untuk mengerahkan massa guna mendelegitimasi hasil Pemilu.

Secara jujur, dia menilai hal tersebut musykil dilakukan dalam rentang waktu dekat ini. Beberapa faktor seperti mudah menguapnya isu politik termakan kesibukan harian warga serta keengganan kalangan elite lainnya untuk menjerumuskan kondisi yang stabil ke jurang kekacauan.  Apalagi, Ramadan dan Lebaran sudah menjelang.

Di sisi lain, Direktur Setara Institute Hendardi mengungkapkan meski terdapat fakta ketidakteraturan penyelenggaraan Pemilu, tapi seharusnya tetap diselesaikan dalam kerangka demokratik.

“Kita punya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai mekanisme penyelesaian sengketa. Maka ke sanalah semua komplain diajukan,” tegasnya. 

Banjir Tudingan usai Pesta Demokrasi, Antara Pengawasan dan Upaya Delegitimasi KPU

Warga memberikan hak suaranya di TPS 16 yang terdampak banjir di Bojongasih, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2019)./ANTARA-Raisan Al Farisi

Sejurus dengan itu, Juri menyatakan sejauh ini, perangkat dan kelembagaan penyelenggaraan Pemilu sudah sangat lengkap. 

“Di sinilah Indonesia sering dianggap Pemilu paling kompleks. Tidak saja sistemnya, tetapi juga kelembagaannya,” ucapnya. 

Selain KPU dan Bawaslu, masih terdapat pengawas serta panitia hingga ke tingkat paling bawah. Di luar itu, terdapat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk menerima pengaduan dan mengadili jika ada jajaran KPU dan Bawaslu yang melakukan pelanggaran etik.

“Ajakan-ajakan yang menolak hasil Pemilu, mendelegitimasi lembaga dan hasil kerja penyelenggara Pemilu dan kemudian mengambil langkah inkonstitusional sesungguhnya adalah mengingkari dan mengkhianati aturan main yang telah disepakati bersama sebagai sebuah bangsa,” imbuh Juri. 

Semua pihak pun seharusnya mengerti aturan main demikian, pengawasan berjenjang, pengaduan pun diakomodir hingga tingkat tertinggi di MK. Namun, apakah, jika para elite ibarat gajah yang tengah bertengkar, rakyat kecil senantiasa jadi rumput yang terinjak dan dikorbankan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper