Bisnis.com, JAKARTA – Presiden terpilih diminta serius mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat menjadi undang-undang agar masyarakat pemilik tanah ulayat berhak mengelola hutannya dan tidak mudah terjerat dikriminalisasikan.
Pasalnya, RUU Masyarakat Adat hanya dijadikan wacana pembahasan selama 15 tahun sehingga terlampau lama disahkan oleh legislatif dan eksekutif tanpa ada realisasi ketok palu menjadi UU Masyarakat Adat.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Laksanto Utomo mengatakan presiden terpilih nanti harus memosisikan hukum adat dan kearifan lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagai sumber hukum nasional dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
"Mendesak presiden terpilih segera mensahkan RUU menjadi UU Masyarakat Adat, pemerintah juga sungguh-sungguh berkomitmen memperhatikan asas kearifan lokal dan menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan dan mempertahankan hak ulayat dan hak tradisionalnya," kata Laksanto di Jakarta pada Senin (1/4/2019).
Dia mengutarakan akibat UU Masyarakat Adat belum disahkan, masyarakat yang hidup mencari nafkah di tanah ulayatnya justru mudah dikriminalisasikan oleh pihak-pihak tertentu.
"Saya sendiri pernah menjadi saksi ahli bagi masyarakat adat di Padang (Sumatra Barat). Tanah ulayat yang digarap masyarakat adat di situ dan diperjuangkan untuk dilindungi, justru mereka malah dikriminalkan," paparnya.
Padahal, menurutnya, masyarakat adalah pihak terdepan menjaga hutan dari perusakan hutan. Masyarakat, tuturnya, adalah penjaga dan ujung tombak melindungi hutan dari komersialisasi hutan seperti pembukaan lahan Hak Pengusaha Hutan (HPH) untuk izin konsesi perkebunan skala besar.
"Apakah itu pengalihan hak tanah ulayat mereka jadi berubah untuk perkebunan kelapa sawit, hutan lindung menjadi kawasan pertambangan batu bara. Oleh karena itu, kami mendesak Presiden mengesahkan RUU ini menjadi UU," ujarnya.
Laksanto menambahkan APHA sudah menjalin komunikasi dengan para pengajar hukum yang merupakan anggota APHA tingkat daerah supaya mengingatkan pemerintah dan anggota legislatifnya di setiap provinsi supaya mempercepat pengesahan RUU menjadi UU Masyarakat Adat.
Di sisi lain, Direktur Program Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI) Hermansyah mengatakan UU Masyarakat Adat adalah payung hukum bagi UU lainnya untuk mengurangi kerusakan hutan akibat pembukaan perkebunan dan wilayah tambang skala besar.
"Nilai-nilai kearifan lokal itu tidak dianggap sebagai hukum padahal masyarakat adat yang menjaga hutannya. Mereka mengelola hutannya sesuai kebutuhan sendiri," kata Hermansyah.
Dia mengatakan juga bahwa kehadiran UU Masyarakat Adat melindungi masyarakat sekitar hutan dari bencana alam seperti banjir karena ada dorongan untuk tidak menebang hutan sembarangan.
"Ada satu daerah yang masyarakat memiliki hukum adatnya sendiri. Kalau anda menebang pohon, tetapi kamu harus menanam lagi karena pohon itu untuk gerenasi yang akan datang. Itu yang tidak dilakukan oleh pemerintah," ujarnya.
Menurut Hermansyah, apabila negara dan pemerintah terlalu berorientasi kepada hukum positif dan mengabaikan hukum adat dan kearifan lokal terkait dengan perlindungan pengelolaan lingkungan hidup adalah kekeliruan besar dan harus dikoreksi.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Nasional (Unas) Jakarta Jeane Netje Saly mengemukakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
"Saya meneliti tentang pangan. Ketika melihat masyarakat berusaha menciptakan supaya masyarakat kembali makan sumber pangan lokal. Ada pemerintah yang mengharuskan selama 1 bulan minimal 12% makan sagu, itu pun susah," ujarnya.
Namun demikian, dia mendorong supaya pemda setempat supaya kian melibatkan masyarakat agar terbiasa mengonsumsi pangan lokal.