Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Susi Pudjiastuti dan Sekolah Alternatif, Catatan Terhadap Pendidikan Nasional

Dua calon wakil presiden beradu gagasan terkait tema pendidikan dalam debat putaran ketiga Pemilihan Presiden 2019. Namun, keduanya seakan hanya berkutat pada problem “persekolahan”, bukan “pendidikan”.
Orang tua murid mengawasi anaknya pada hari pertama masuk sekolah di Sekolah Dasar Negeri 08 Ciomas, Bogor, Jawa Barat, Senin (16/7/2018)./ANTARA-Yulius Satria Wijaya
Orang tua murid mengawasi anaknya pada hari pertama masuk sekolah di Sekolah Dasar Negeri 08 Ciomas, Bogor, Jawa Barat, Senin (16/7/2018)./ANTARA-Yulius Satria Wijaya

Bisnis.com, JAKARTA -- Pertumbuhan infrastruktur pendidikan formal di Indonesia bertambah setiap tahun. Sekolah-sekolah dibangun, jumlah guru bertambah, lulusan sekolah pun membeludak.

Produk cap sekolahan itu yang kemudian memasuki angkatan kerja dari berbagai jenjang pendidikan. Mekanisme menciptakan tenaga kerja lewat sekolah inilah yang mendapat garis tebal dari adu gagasan dua calon wakil presiden (cawapres) yang beradu panggung, Minggu (17/3/2019).

Cawapres Sandiaga Uno melontarkan gagasan pendidikan link and match yang secara konsep telah lama dipergunakan.

“Konsep link and match, tersambung dengan pendidikan,” ungkapnya.

Sandiaga mengutarakan selama ini, ada kesenjangan antara keterampilan yang diajarkan sekolah dengan dunia industri. Oleh karena itu, program sinergi industri, akademisi, dan pemerintah perlu dikuatkan agar sekolah menghasilkan tenaga terampil yang terserap di pasar.

Tak berbeda, cawapres Ma’ruf Amin mengusung gagasan bahwa peningkatan kualitas mesti melibatkan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Ditambah, tegasnya, adanya Balai Latihan Kerja (BLK) untuk memperbarui keterampilan bagi para pencari kerja.

Susi Pudjiastuti dan Sekolah Alternatif, Catatan Terhadap Pendidikan Nasional

Sejumlah siswa SMK Negeri 1 Kota Kediri merawat mesin Mobil Esemka tipe Sport Utility Vehicle (SUV) Rajawali di bengkel perawatan mobil Esemka di SMK Negeri 1 Kota Kediri, Rabu (16/3/2016)./Antara

Menengok yang ditulis Daoed Joesoef dalam buku “10 Wacana Tentang Aneka Masalah Kehidupan Bersama” yang merupakan kumpulan tulisan mendiang mantan Menteri P dan K periode 1978-1983 itu, pendidikan dan persekolahan sungguh jauh berbeda.

Menurut pria kelahiran Medan pada 1926 ini, jika motivasi pendidikan hanya bermuara pada hal komersial, maka secara efektif lambat laun membuat sekolah merosot menjadi sekadar training institute. Jebolan Universite Pluridisciplinaire de Paris I Pantheon-Sorbonne itu mengungkapkan terdapat tangga pendidikan mulai dari memahami informasi ke pengetahuan, lalu terus kepada pembentukan kebijaksanaan.

“Kebijaksanaan itu terdapat dua, teoritis dan praktis,” simpul Daoed Joesoef.

Setidaknya, pengertian Daoed Joesoef menyepadankan hasil pendidikan dengan tingkat literasi maupun produksi pengetahuan.

“Kalau begitu, pendidikan yang ideal, baik umum maupun spesialis, seharusnya memusatkan perhatian pada pencarian asas-asas yang mendasari berbagai disiplin ilmiah dan korelasi serta sintetisnya,” cetusnya.

Gagasan dan problem pendidikan yang telah puluhan tahun mengendap dari Daoed Joesoef itu juga bukan angan terlampau tinggi. Sosok Susi Pudjiastuti boleh jadi sebagai kritik hidup sistem pendidikan nasional yang dirancukan dengan problem persekolahan.

“Yang namanya pendidikan dan persekolahan bukan sekali-kali merupakan hal yang sama, walaupun apa yang dilakukan sepintas lalu kelihatan serupa. Tidak jarang kita temukan individu berlatar belakang formal schooling sedikit saja, tetapi tindak tanduknya mengesankan well educated. Sebaliknya, ada orang yang menyandang advance degrees, tetapi perbuatannya benar-benar menunjukkan dirinya uncultivated dan insensitive,” tulis Daoed Joesoef, yang pada masanya pernah menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) itu.

Pada 2014, publik dikejutkan dengan kehadiran sosok wanita yang secara tampilan “apa adanya”, tapi dipercaya menjabat pos kementerian. Sejak saat itu, nama Susi Pudjiastuti mengemuka sebagai salah satu srikandi kabinet Jokowi-JK yang banyak membetot perhatian.

Penampilan serta kiprah kementerian pimpinan Susi kerap mengundang perhatian publik karena aksi penenggelaman kapal pencari ikan ilegal. Hal lainnya, sebagai pengusaha nasional, dia dilahirkan dengan ijazah tamatan SMP, tidak mengenyam jenjang pendidikan lebih tinggi.

Tapi catatan karir Susi menjungkirbalikan asumsi umum, bahwa sukses dan berpengetahuan hanya ditimba lewat jalur pendidikan formal. Wanita kelahiran Pangandaran, Jawa Barat pada 15 Januari 1965 itu merupakan pengusaha dan pemilik PT ASI Pudjiastuti Marine Product, perusahaan eksportir hasil laut yang dirintis sejak 1983.

Dengan menggeluti dan mendalami bisnis ekspor di sektor maritim itu, Susi memperluas jangkauan bisnis dengan mendirikan PT ASI Pudjiastuti Aviation, yang dikenal sebagai maskapai penerbangan Susi Air.

Susi tercatat mengawali bisnis maskapai penerbangan pada 2004 setelah sebelumnya menjadi eksportir perikanan dengan memiliki 2 unit pesawat. Pada 2013, Susi Air telah berkembang dengan memiliki 49 unit pesawat yang menghubungkan ratusan rute penerbangan di kota-kota terpencil di Tanah Air.

Susi Pudjiastuti dan Sekolah Alternatif, Catatan Terhadap Pendidikan Nasional

Warga membaca buku yang dipinjam dari mobil perpustakaan keliling di Alun-alun Kudus, Jawa Tengah, Minggu (10/2/2019)./ANTARA-Yusuf Nugroho

Melek Literasi
Sosok Susi merupakan wujud nyata gagasan Daoed Joesoef. Pendidikan berujuang pada "melek literasi".

Menurut UNESCO, pendidikan sejati dapat dilihat dari tingkat literasi. Berdasarkan definisi lembaga PBB yang mengurus persoalan pendidikan itu, literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menginterpretasikan, mengkreasikan, mengomunikasikan, dan menyusun, dengan menggunakan material pengetahuan tertulis dan cetak, dengan berbagai konteks.

Lebih jauh, UNESCO mengartikan bahwa tingkat literasi merupakan sebuah konsep belajar sepanjang hayat atau berkesinambungan yang membuat individu mencapai tujuannya, membangun pengetahuan dan potensi, dan berpartisipasi penuh terhadap komunitas dan lingkungan sosial yang lebih luas.

Pengertian literasi itulah yang sepertinya dilakoni Susi hingga menduduki jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan. Melek literasi jadi kunci kesuksesan individual maupun kolektif.

Pada 2016, terbit hasil penelitian berjudul "World Most Literate Nations", yang mengalisis tren perilaku dari perilaku melek huruf dipimpin John W. Miller, Presiden Center Connecticut State University (CCSU) AS. Dia berkiprah lebih dari 40 tahun mendalami masalah keaksaraan.

Pada periode 2003-2014, Miller dan timnya menganalisis data dari 200 negara, tapi hanya 61 negara yang berhasil dianalisis. Dalam temuan tim tersebut, peringkat literasi negara yang diteliti secara kuat mencerminkan vitalitas budaya suatu negara.

Tingkat melek huruf ternyata berpengaruh sangat signifikan terhadap keberhasilan individu dan bangsa di era ekonomi berbasis pengetahuan yang akan menentukan masa depan global. Sayang, pada penelitian tersebut, Indonesia berada di peringkat 60, kedua terbawah setelah Botswana.

Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan nasional pun saat ini mendapat tentangan aktif. Kemunculan sekolah alternatif yang tidak mengadopsi kurikulum serta cara penilaian ataupun tata ajar sekolah formal merupakan bentuk nyata kritik tersebut.

Dahulu, sekolah alternatif didirikan guna mengkritik pendidikan formal pemerintah kolonial. Sebagai catatan, berdiri Sekolah Ksatrian, INS Kayu Tanam, hingga Sekolah SI.

Dengan semangat serupa, salah satu sekolah alternatif yang kini muncul adalah Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta. Sekolah itu dirintis Sri Wahyaningsih dan Toto Rahardjo pada medio 2000.

Kini, SALAM mempunyai jenjang pendidikan dari tingkat Taman Bermain hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, tak ada kurikulum ataupun mata pelajaran, ujian berupa tes, hingga memasukan orientasi keterampilan industri dalam pendidikan di SALAM.

Susi Pudjiastuti dan Sekolah Alternatif, Catatan Terhadap Pendidikan Nasional

Sejumlah Siswa SMK Negeri 1 Kota Kediri merawat mesin Mobil Esemka tipe Sport Utility Vehicle (SUV) Rajawali di bengkel perawatan mobil Esemka di SMK Negeri 1 Kota Kediri, Rabu (16/3/2016)./Antara

Wahya, sapaan akrab Sri Wahyaningsih, mengungkapkan problem sistem pendidikan formal yang mendasar adalah pola penyeragaman, meniadakan minat dan talenta masing-masing anak didik. Di SALAM, pendidikan dijalankan dengan pola mendampingi dan membantu dari fasilitator pendidikan.

“Sejak usia belia, anak didik didekatkan dengan hobi atau talenta masing-masing melalui pendekatan pengajaran riset,” tuturnya kepada Bisnis, Senin (18/3/2019).

Contoh sederhananya, masing-masing murid dibebaskan dengan minat pengetahuan apapun. Lewat minat riset anak didik, fasilitator mendampingi serta sama-sama menggali pengetahuan terkait objek riset.

“Pola tes kami, anak didik mempresentasikan hasil riset, seperti dalam seminar ataupun pertunjukan,” ujar Wahya.

Melalui konsep pendidikan tersebut, pengajaran pada SALAM kental dengan budaya literasi. Berstatus Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), anak didik SALAM juga mengikuti Ujian Nasional (UN).

Tetapi, tak seperti anak didik sekolah formal, para siswa SALAM melakukan riset soal dan mendiskusikan bersama pola UN. Alhasil, lulusan SALAM pun tak jarang banyak yang melanjutkan ke perguruan tinggi.

“Lewat minat dan pemahaman akan riset yang dikembangkan, mereka ada yang langsung terjun ke masyarakat menjadi pengusaha, juga seniman. Adapun yang melanjutkan ke perguruan tinggi, mayoritas mereka menguasai bidang yang mereka pilih sejak awal perkuliahan, tinggal mengembangkan lebih lanjut," papar Wahya.

Susi Pudjiastuti dan Sekolah Alternatif, Catatan Terhadap Pendidikan Nasional

Siswa menggunakan gawai saat mengerjakan soal UASBN 2019 di SMA Negeri 9 Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (18/3/2019)./ANTARA-Novrian Arbi

Keberadaan SALAM diakuinya sebagai kritik terhadap sistem pendidikan yang berlangsung. Menurut Wahya, saat ini, pendidikan telah menjelma menjadi komoditas bisnis.

“Penyeragaman juga terjadi pada konsep pendidikan formal, tolok ukur selalu disejajarkan dengan negara-negara Barat. Padahal, kita mempunyai keunikan. Masing-masing kondisi masyarakat, mulai dari Jawa hingga Papua, juga beragam,” tukasnya.

Dengan pemahaman konsep pendidikan yang sejalan dengan gagasan pendidikan Ki Hadjar Dewantara itu, orang tua siswa dilibatkan secara aktif. Bahkan, sebelum memulai pembelajaran, SALAM mendiskusikan dengan para orangtua siswa, bahwa pendidikan bukan lagi obsesi mereka tapi ditumpukan kepada potensi dan minat siswa.

“Tujuan kami, bahwa dunia pendidikan itu harus menitikberatkan kepada anak didik, mereka mahagurunya, sehingga dunia pendidikan selalu memproduksi pengetahuan. Bukan seperti sekarang, hingga S3 pun hanya sekadar mengonsumsi pengetahuan,” tambah Wahya.

Seabrek permasalahan dunia pendidikan harus dihadapi oleh tiap pemimpin, sebab hal tersebut merupakan strategi kebudayaan yang menjamin kehidupan masa mendatang. Persoalan tidak akan terurai manakala problem yang dikupas hanya sebatas “persekolahan”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Annisa Margrit

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper