Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Banyak yang Bias, Lembaga Survei Diusulkan Diatur Undang-Undang

Indonesia membutuhkan Undang-undang untuk mengatur keberadaan lembaga survei akibat lembaga tersebut telah menjadi industri berorientasi keuntungan dengan bekerja sebagai konsultan politik.

Bisnis.com, JAKARTA—Indonesia membutuhkan Undang-undang untuk mengatur keberadaan lembaga survei akibat lembaga tersebut telah menjadi industri berorientasi keuntungan dengan bekerja sebagai konsultan politik.

Demikian disimpulkan dalam diskusi bertajuk Survei Pemilu, Realita atau Rekayasa? di Gedung DPR, Kamis (21/3/2019).

Turut menjadi nara sumber pada diskusi itu Direktur Program SMRC, Sirajuddin Abbas, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, politisi PDI Perjuangan Maruarar Sirait, serta Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar.

Berubahnya lembaga survei menjadi industri yang beorientasi keuntungan diakui oleh Sirajudin Abbas. Hal itu tidak mengherankan karena dalam setiap melakukan survei diperlukan biaya yang tidak sedikit, ujarnya. 

Karena alasan menjadi industri itulah lembaga survei juga menjadi konsultan politik untuk kepentingan pemilihan kepala daerah maupun pemilu legislatif dan pemilihan presiden sebagaimana yang dilakukan SMRC.

Karena itu dia setuju diperlukannya semacam sertifikasi selain dimungkinkannya Undang-undang yang mengatur keberadaan sebuah lembaga survei.

“Lembaga survei sudah jadi industri. Ada mamfaat untuk politik,  tapi ada yang mengambil kesempatan untuk membangun industrinya dan tidak semua orang memiliki kualifikasi yang baik untuk membangun industri survei,” ujarnya.

Sedangkan Fadli Zon menilai banyaknya lembaga survei yang menjadi konsultan politik dan tidak akurat dalam melakukan kegiatan profesinya, menunjukkan mereka telah berubah menjadi predator politik. Seharusnya lembaga survei dipisahkan dengan konsultan politik agar terlihat transparansi dalam kegiatannya, ujarnya.

“Lembaga survei bisa menjadi perdator politik atau mafia survei karena pekerjaan merea bukan menciptakan gambaran pilihan pulik yang sesungguhnya, tapi gambaran apa yang diinginkan mereka yang membayar,” ujar Fadli Zon. Dia menyebutkan kondisi itu juga membahayakan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Fadli Zon kemudian menyoroti ketidakakuratan lembaga survei termasuk SMRC dalam memotret pilihan publik saat Pilkada digelar di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dia mencontohkan hasil yang jauh berbeda seperti saat pasangan Calon Gubenur Jawa Barat, Sudradjat-Ahmad Saikhu yang hanya meraih elektabilitas 7% dalam rata-rata survei, namun dalam kenyatannya meraih angka 28% pada Pilkada serentak Juni tahun lalu.

“Jadi harus ada aturan berupa Undang-undang untuk mengatur lembaga survei. Akan adil bila disebutkan siapa pemberi biaya survei agar masyarakat percaya,” ujarnya.

Sedangkan Musni Umar mengakui hasil penelitian yang diakukannya terhadap masyarakat  jauh berbeda dari hasil survei yang diumumkan sejumlah lembaga.

Bahkan ada di satu daerah yang hasil surveinya memeiliki elektabilitas sangat tinggi. Padahal, dalam kenyataannya ketika dia melakuan wawancara dan pengumpulan data, sangat tidak berkorelasi dengan tingkat elektabiitas tersebut.

“Saya termasuk orang yang tidak percaya pada lembaga survei,” ujar rektor tersebut. Karena itu dia sependapat aar ada pengaturan atau regulasi soal keberadaan lembaga survei di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper