Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor Jepang Kembali Terpuruk 

Ekspor Jepang turun untuk ketiga kalinya berdasarkan data perdagangan Februari 2019.
Deretan mobil yang akan diekspor menunggu giliran dikirim di sebuah pelabuhan di Yokohama, Jepang, Rabu (15/11/2017)./Reuters-Toru Hanai
Deretan mobil yang akan diekspor menunggu giliran dikirim di sebuah pelabuhan di Yokohama, Jepang, Rabu (15/11/2017)./Reuters-Toru Hanai

Bisnis, JAKARTA -- Ekspor Jepang turun untuk ketiga kalinya berdasarkan data perdagangan Februari 2019, yang menunjukkan pengetatan pada ekonomi yang bergantung pada kegiatan dagang tersebut.
 
Bank sentral Jepang mungkin akan terpaksa menawarkan lebih banyak stimulus untuk meredam efek perlambatan permintaan eksternal serta gesekan perdagangan.
 
Data Kementerian Keuangan Jepang yang dirilis pada Senin (18/3/2019) menunjukkan ekspor turun 1,2% secara tahunan pada bulan lalu, lebih tinggi dari proyeksi penurunan 0,9% dari para ekonom dalam jajak pendapat Reuters.
 
Sebelumnya, ekspor Jepang pada Januari 2019 tercatat merosot 8,4% secara tahunan akibat pelemahan pesanan pengiriman mobil, baja, dan peralatan produksi semikonduktor.
 
"Ekspor ke negara-negara maju seperti AS dan Eropa masih tetap kuat, tetapi pengiriman ke China dan Asia jelas melemah," ujar Takeshi Minami, kepala ekonom di Norinchukin Research Institute, seperti dilansir dari Reuters, Senin (18/3).
 
Perlambatan pertumbuhan global, perang dagang China-AS dan komplikasi Brexit telah memaksa banyak pembuat kebijakan untuk beralih ke sikap pelonggaran selama beberapa bulan terakhir. Jepang berada dalam situasi yang serupa dengan sebagian besar dunia, di mana pabrik-pabrik mulai mengurangi produksi dan kepercayaan bisnis telah anjlok di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global.
 
Pengiriman Jepang ke Asia, yang menyumbang lebih dari setengah dari keseluruhan ekspor, merosot 1,8% atau turun selama empat bulan berturut-turut.
 
Ekspor ke AS naik 2,0%, tapi impor dari AS tumbuh 4,9%. Hal ini membuat surplus perdagangan Tokyo dengan Washington turun 0,9% secara tahunan menjadi 624,9 miliar yen atau sebesar US$5,6 miliar pada Februari 2019.
 
Namun, surplus menimbulkan kekhawatiran di kalangan pembuat kebijakan dan eksportir mobil Jepang bahwa AS dapat mengenakan bea yang besar terhadap impor mereka.
 
Impor mobil mencapai sekitar dua pertiga dari surplus perdagangan tahunan Jepang, senilai US$69 miliar dengan AS, membuat Jepang dan China menjadi sasaran kritik Presiden AS Donald Trump.
 
Pada Februari 2019, ekspor mobil Jepang ke AS naik hanya 0,5% secara tahunan menjadi 152.198 unit, dengan nilai pengiriman turun 6,8%.
 
“Ekspor akan tetap dalam tren menurun untuk saat ini, yang dapat berdampak pada penekanan pengeluaran modal dan upah. Ekonomi domestik akan menghadapi situasi yang parah menjelang kenaikan pajak penjualan pada Oktober," lanjut Minami.
 
Data perdagangan Jepang dirilis menyusul laporan dari indikator lain yang menunjukkkan pelemahan seperti output pabrik dan pengeluaran modal. Realisasi keduanya telah meningkatkan kekhawatiran bahwa rekor pertumbuhan Jepang setelah perang mungkin akan berakhir.
 
Beberapa analis mengatakan risiko resesi tidak boleh dikesampingkan.

Pekan lalu, Bank of Japan (BOJ) memangkas proyeksi ekspor dan output pabrik sembari tetap menjaga kebijakan moneter tanpa perubahan.
 
Namun, dengan pelemahan ekspor yang meluas, pelonggaran moneter bank sentral akan menjadi bumerang bagi ekonomi Jepang, terutama karena inflasi masih berada di luar target 2% serta tekanan pada kegiatan bisnis dan belanja konsumen terus meningkat.
 
Dalam konferensi pers pekan lalu, Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda mengakui tantangan yang dihadapi ekonomi Negeri Sakura saat ini. Namun, dia tidak memberikan indikasi akan ada stimulus tambahan.
 
Di sisi lain, dia mungkin harus mengubah taktiknya untuk menghadapi serangkaian pelemahan indikator ekonomi.
 
Banyak pihak di BOJ berharap ekonomi Jepang akan bangkit dari kelesuan pada paruh kedua tahun ini, dengan asumsi rencana stimulus China dapat menghidupkan kembali permintaan di sana. Kekhawatiran terbesar di antara para pembuat kebijakan BOJ adalah bahwa pelemahan ekspor dan output akan merusak sentimen perusahaan, mendorong perusahaan untuk menunda pengeluaran modal dan kenaikan upah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Annisa Margrit

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper