Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ribuan Siswa di Dunia Ikut Unjuk Rasa Perubahan Iklim

Ribuan siswa sekolah meninggalkan jam pelajaran di seluruh Australia dan Selandia Baru pada Jumat (15/3/2019), mengikuti unjuk rasa siswa global untuk memprotes lambatnya tindakan pemerintah terhadap perubahan iklim.
Para pengunjuk rasa yang menuntut aksi perubahan iklim berkumpul di Te Ngakau Civic Square, Wellington/Reuters
Para pengunjuk rasa yang menuntut aksi perubahan iklim berkumpul di Te Ngakau Civic Square, Wellington/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Ribuan siswa sekolah meninggalkan jam pelajaran di seluruh Australia dan Selandia Baru pada Jumat (15/3/2019), mengikuti unjuk rasa siswa global untuk memprotes lambatnya tindakan pemerintah terhadap perubahan iklim.

Dilansir Reuters, aksi protes siswa di ibu kota dan sejumlah kota mulai dari Wellington hingga Melbourne dan Sydney menarik puluhan ribu orang. Aksi serupa juga digelar di Asia, Eropa dan Amerika Serikat.

"Perubahan iklim lebih buruk daripada Voldemort (tokoh antagonis di Harry Potter)," ungkap tulisan tangan yang dibawa oleh seorang siswa di Wellington.

Siswa di Korea Selatan ikut ambil bagian dalam unjuk rasa global #ClimateStrike di pusat kota Seoul/Reuters
Siswa di Korea Selatan ikut ambil bagian dalam unjuk rasa global #ClimateStrike di pusat kota Seoul/Reuters

Para pengunjuk rasa yang menuntut aksi perubahan iklim berkumpul di Sydney/Reuters

Aksi unjuk rasa di seluruh dunia dimulai pada Agustus 2018, ketika aktivis iklim Swedia berusia 16 tahun Greta Thunberg mulai mengumandangkan aksi protes pada hari sekolah. Sejak saat itu, Thunberg dinominasikan sebagai peraih Hadiah Nobel Perdamaian.

"Jika kita tidak melakukan sesuatu, itu akan mempengaruhi hidup kita, bukan politisi berusia 60 tahun," kata Callum Frith (15 tahun) salah seorang siswa dik Sydney yang mengikuti aksi ini. “Kita perlu tindakan.”

Di tempat lain di Asia, sekitar 60 siswa menggelar aksi protes di depan gedung pemerintah di ibukota Thailand, Bangkok, sambil memegang papan tanda kambanye melawan plastik. Thailand adalah salah satu pencemar plastik laut terbesar di dunia.

"Sebagai pemuda yang akan mewarisi tanah di bumi, kami berkumpul di sini untuk menuntut agar pemerintah bekerja bersama kami untuk menyelesaikan masalah ini," ungkap Thiti Usanakul (17 tahun) dari kelompok Grin Green International.

Kelompok tersebut kemudian diundang untuk bertemu para pejabat di Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Thailand dalam dua pekan ke depan.

Di ibukota Seoul, Korea Selatan, lebih dari 100 siswa memegang papan kardus daur ulang dengan slogan-slogan seperti "Sekolah Terlalu Hangat," dan "Jangan menyangkal perubahan iklim".

"Saya pikir pendidikan lingkungan harus diwajibkan dari sekolah dasar," ungkap Bang Tae-ryung, seorang siswa SMA di Seoul. "Meskipun kita belajar, kita harus tahu lebih banyak tentang mengapa hal itu terjadi dan bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah ini."

Di Singapura, para pemuda merencanakan kampanye virtual di media sosial karena aksi terbuka diatur dengan sangat ketat di negara ini.

"Pemerintah hanya perlu mengubah beberapa hal, itulah sebabnya, jika kita melakukan aksi mogok di hari sekolah, maka mereka akan melihat dan mereka mungkin benar-benar melakukan sesuatu," kata Inese, siswa asal Selandia Baru.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, yang telah menjanjikan dana senilai NZ$100 juta (US$68 juta) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, mendukung unjuk rasa ini dan mengatakan remaja tidak boleh menunggu hingga memasuki usia pemilih untuk menggunakan suara mereka.

Sikap Ardern berbeda dengan politisi di Australia dan Inggris yang telah menegur mereka karena meninggalkan kelas mereka.

"Untuk tindakan pada masalah yang mereka anggap penting, mereka harus melakukannya setelah sekolah atau pada akhir pekan," ungkap menteri pendidikan Australia, Dan Tehan.

Orangtua Wellington, Alex, yang berbaris di samping putranya yang berusia 11 tahun, tidak sepakat atas sikap Tehan. "Ini hari yang jauh lebih baik untuk pendidikan. Ini adalah masalah terbesar di zaman kita," ungkapnya.

Para ilmuwan mengatakan penggunaan bahan bakar fosil melepaskan gas rumah kaca yang membuat panas terperangkap dan menaikkan suhu global, sehingga menyebabkan meningkatnya banjir, kekeringan, gelombang panas, dan kenaikan permukaan laut.

Janji konferensi iklim Paris 2015 untuk membatasi kenaikan suhu hingga 2 derajat celsius membutuhkan pengurangan dalam penggunaan batubara dan bahan bakar fosil secara signifikan.

Siswa di Korea Selatan ikut ambil bagian dalam unjuk rasa global #ClimateStrike di pusat kota Seoul/Reuters
Siswa di Korea Selatan ikut ambil bagian dalam unjuk rasa global #ClimateStrike di pusat kota Seoul/Reuters

Siswa di Korea Selatan ikut ambil bagian dalam unjuk rasa global #ClimateStrike di pusat kota Seoul/Reuters

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper