Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wajib Belajar 12 Tahun: Saat Jokowi dan Prabowo Batal Berperkara

Uji Materi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diajukan oleh dua ibu rumah tangga ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejumlah siswa SD bergandengan tangan bersama saat kegiatan Memeluk Jatigede 2018 di Bendungan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Rabu (2/5). Kegiatan yang diikuti 30 ribu peserta dari siswa SD, SMP, serta guru se-Kabupaten Sumedang tersebut dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional./Antara
Sejumlah siswa SD bergandengan tangan bersama saat kegiatan Memeluk Jatigede 2018 di Bendungan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Rabu (2/5). Kegiatan yang diikuti 30 ribu peserta dari siswa SD, SMP, serta guru se-Kabupaten Sumedang tersebut dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional./Antara

Kabar24.com, JAKARTA — Pupus sudah asa ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin untuk melihat Joko Widodo dan Prabowo Subianto beradu program di Mahkamah Konstitusi.

Asal muasal ceritanya, Irman menggugat Pasal 34 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada akhir tahun lalu. Dia meminta kepada MK untuk mendefinisikan pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat, sehingga lama wajib belajar menjadi 12 tahun.

Dalam permohonannya, tertulis permintaan agar MK menghadirkan dua kontestan Pilpres 2019 dalam sidang pemeriksaan sebagai pihak terkait dalam perkara tersebut. Alasannya, jika MK mengabulkan wajib belajar 12 tahun, presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2019-2024 akan melaksanakan putusan itu.

Mengajukan permohonan pengujian UU tentu tidak bisa sembarangan. Kedudukan hukum pihak yang mengajukan perkara harus kuat. Dalam konteks wajib belajar, warga negara yang paling berpotensi dirugikan tentu saja anak usia sekolah.

Menyadari faktor kedudukan hukum ini, Irman lantas menarik diri sebagai pemohon. Sebagai gantinya, Happy Hayati Helmi dan Rayna Zafira lantas menjadi pemohon, sementara Irman berperan sebagai kuasa hukum.

Jika gugatan tersebut berlanjut ke sidang pemeriksaan, pemohon memandang perlu pasangan calon presiden dan wakil presiden dipanggil sebagai pihak terkait. Pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno bisa memaparkan visi, misi, dan program kampanye di bidang pendidikan.

Di Pilpres 2019, kedua kandidat memang menjadikan bidang pendidikan sebagai bagian janji kampanye.

Jokowi-Ma'ruf, dalam dokumen Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju, mencantumkan investasi sumber daya manusia di bidang pendidikan bakal diarahkan untuk meningkatkan akses, keadilan, dan pemerataan kualitas pendidikan. Salah satu fokus reformasi di bidang pendidikan adalah mempercepat pelaksanaan wajib belajar 12 tahun.

Tidak hanya itu, Jokowi-Ma'ruf pun menjanjikan pemerataan penyediaan sarana-prasarana pendidikan dan infrastruktur pendukungnya hingga ke wilayah yang kurang infrastruktur pendidikannya.

Senada, Prabowo-Sandi dalam dokumen Empat Pilar Menyejahterakan Indonesia memasukkan wajib belajar 12 tahun dalam salah satu janji kampanye bidang pendidikan. Prabowo-Sandi juga menjanjikan pengembangan pendidikan jarak jauh untuk daerah-daerah yang sulit terjangkau dan miskin.

Janji itu klop dengan keinginan Happy dan Rayna, tetapi belum bersifat wajib. Menurut mereka, hanya pencantuman secara eksplisit dalam UU Sisdiknas melalui uji materi saja wajib belajar tidak sekadar janji.

DITOLAK MK

Namun, harapan untuk menghadirkan Jokowi dan Prabowo di MK kandas. Tidak butuh waktu lama, lembaga penafsir UUD 1945 tersebut langsung memutus perkara Happy dan Rayna sebelum pemungutan suara Pilpres 2019.

Strategi Irmanputra Sidin mengganti pemohon memang berhasil karena MK mengakui kedudukan hukum Happy dan Rayna. Kendati Happy adalah ibu seorang anak berusia 2 tahun dan Rayna masih mengandung 11 bulan, keduanya dianggap dapat mewakili secara hukum sang anak yang berpotensi mengalami kerugian konstitusional ke depan.

Apesnya, kedudukan hukum saja tidak cukup untuk berhasil menang perkara. Posita, yang berisi dalil atau alasan permohonan, adalah senjata untuk meyakinkan MK agar permohonan dikabulkan.

Sayangnya, dalil mereka tidak cukup kuat. Dalam Putusan MK No. 97/PUU-XVI/2018 yang memutus permohonan Happy dan Rayna, MK menyatakan alasan konstitusional penggugat tidak tepat.

Pemohon menggunakan batu uji pasal-pasal konstitusi yang terkait dengan prinsip negara hukum, persamaaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, serta hak keberlangsungan hidup dan tumbuh anak. Padahal, persoalan wajib belajar pendidikan dasar secara eksplisit tercantum dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, tetapi dikesampingkan oleh penggugat dalam membangun argumentasi.

“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Jakarta, Rabu (27/2/2019).

Pada 17 Maret, kontestan Pilpres 2019 kembali diagendakan berdebat. Kebetulan, salah satu tema yang diperdebatkan oleh dua calon wakil presiden adalah pendidikan.

Meskipun forumnya bukan di MK, emak-emak seperti Happy dan Rayna tentu berharap ada komitmen calon penguasa Indonesia 2019—2024 untuk mewujudkan wajib belajar 12 tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper