Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Januari 2019, Pemerintah China Dijadwalkan Terapkan Reformasi Pajak

Kekawatiran miliarder China mengemuka seiring wacana implementasi reformasi pajak Negeri Panda yang dijadwalkan berlaku sejak 1 Januari 2019.
Yuan./.Bloomberg
Yuan./.Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Kekawatiran miliarder China mengemuka seiring wacana implementasi reformasi pajak Negeri Panda yang dijadwalkan berlaku sejak 1 Januari 2019.

Kebijakan reformasi pajak Pemerintah China dilakukan dengan mengurangi beban pajak dari penduduk berpendapatan menengah dan rendah sehingga membuat penduduk berpendapatan tinggi membayar pajak lebih besar.

Pasalnya, orang kaya di China telah semakin kaya. Berdasarkan data Bloomberg, nilai kekayaan pribadi di China telah melambung hingga US$24 triliun pada tahun lalu. Sementara itu, Boston Consulting Group mengestimasikan sepanjang 2018 ada sekitar US$1 triliun dana yang disimpan di luar negeri.

 Adapun, melalui perubahan rezim pajak tahun ini, pemerintah setempat akan mengawasi kepemilikan aset dan investasi khususnya yang disimpan dalam institusi luar negeri (offshore).

Sementara itu, implementasi pajak yang lebih ketat di Negeri Panda diharapkan memberi pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi di kawasan lain yang terdampak oleh tingginya daya beli warga China, seperti kenaikan harga properti di Vancouver dan Sydney, kenaikan harga produk seni, serta produk makanan berkualitas tinggi.

Bagi orang kaya, keberadaan tax haven atau surga pajak akan menjadi sia-sia sebab kali ini pemerintahan China tidak hanya memberlakukan pajak terhadap dividen yang diterima perusahaan offshore, tetapi juga penerapan pajak terhadap laba perusahaan sebanyak 20%.

Kemungkinan ini memicu sejumlah miliarder China untuk berbondong-bondong mencari suaka finansial dengan membuka rekening trust luar negeri (overseas trusts). Metode ini sering kali digunakan oleh orang kaya untuk menghindari pajak sepanjang dana simpanan tidak menghasilkan dividen.

Kepemilikan bangunan di luar negeri atau perusahaan cangkang (shell company) yang juga sering dijadikan metode untuk lari dari kewajiban pajak akan semakin mudah dilacak oleh Pemerintah China.

Dalam reformasi pajak ini, China berencana menerapkan perjanjian tukar menukar data dalam lingkup internasional atau yang disebut dengan Common Reporting Standard (CRS).

Jason Mi, mitra di Ernst & Young Beijing, mengatakan bahwa hingga saat ini, belum jelas bagaimana pemerintah akan menggunakan data CRS, terlebih lagi pada awal 2019.

"Pihak berwenang bisa saja mengabulkan pengampunan [amnesty] pada periode tertentu agar proses transisi menuju kebijakan baru dapat berlangsung stabil atau justru langsung memberlakukan hukuman bagi pelanggar pajak," katanya seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (3/1/2019).

Kebijakan ini juga berpotensi untuk menutup loophole atau jalan pintas bagi pelanggar pajak yang berlindung di balik kewarganegaraan ganda.

Namun, metode ini tidak berlaku per 1 Januari 2019 sebab Pemerintah China akan bersikap tegas dalam penerapan pajak terhadap pendapatan global dari seluruh warga negara pemilik hukou atau sistem pendataan warga negara China, terlepas dari kewarganegaraan ganda.

Spesialis pajak di Zhong Lun Law Firm yang berdomisili di Shanghai, Peter Ni, menilai kebijakan ini telah mendorong sejumlah besar rakyat China dengan kewarganegaraan ganda rela melepas hukou demi menghindari kewajiban pajak pada 2019.

"Mulai 2019, mereka yang ingin melepas kewarganegaraan China akan lebih dulu diaudit oleh otoritas pajak dan mungkin akan diminta untuk menerangkan sumber pendapatan mereka," ujar Ni.

Lebih lanjut, Ni mengatakan bahwa para taipan yang mewariskan aset kepada kerabat atau pihak ketiga dapat dikenakan pajak dalam reformasi kebijakan ini, tetapi kebijakan tersebut tergantung pada seberapa ketat aturan baru China tentang hadiah dalam bentuk aset. Menurutnya retribusi dapat mencapai sekitar 20% dari nilai aset yang dihargai.

Sebagai contoh, seorang taipan berencana untuk menghibahkan aset kepada anaknya secara gratis dalam bentuk saham luar negeri senilai US$1 juta.

Menurut Ni, jika semula nilai saham tersebut US$100.000, per tahun ini dia akan dikenakan pajak 20% dari selisih kenaikan senilai US$900.000 atau pajak sebesar US$180.000.

Terlebih lagi jika penerima adalah orang asing, risiko pajak yang harus dibayar menjadi lebih tinggi karena aset yang diberikan kemungkinan akan berada di luar jangkauan otoritas China.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nirmala Aninda
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper