Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Beda Gaya Komunikasi Prabowo dan Jokowi kepada Media

Dosen Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mencoba menganalisis cara berbicara kedua capres kepada pers. Kampanye yang mereka lakukan diharapkan dapat memberi kesejukan di tengah masyarakat.
Calon Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan capres Prabowo Subianto di sela-sela pengambilan undian nomor urut untuk Pilpres 2019, di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (21/9/2018)./Reuters-Willy Kurniawan
Calon Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan capres Prabowo Subianto di sela-sela pengambilan undian nomor urut untuk Pilpres 2019, di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (21/9/2018)./Reuters-Willy Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA – Calon presiden Prabowo Subianto kembali menjadi sorotan publik setelah dia menyatakan wartawan yang tidak benar memberitakan Reuni 212 pada pekan lalu adalah antek yang ingin menghancurkan Indonesia.

Ini bukan kali pertama Ketua Umum Partai Gerindra itu menyampaikan pernyataan kontroversial terkait para pewarta.

Dalam acara silaturahmi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pada 2013, Prabowo berkata jangan terlalu percaya dengan apa yang disampaikan media. Dia mengatakan hakim saja bisa disuap, apalagi wartawan, karena mereka juga manusia.

Sehari berselang, Prabowo meminta maaf atas apa yang telah dilontarkannya. Menurutnya, respons publik terlalu berlebihan dan disalahartikan.

Setahun kemudian pada hari pemungutan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Prabowo tiba-tiba naik pitam kepada tiga stasiun televisi yang dinilai terlalu sering memberitakan hal yang tidak baik tentang dirinya.

Selain tiga media elektronik itu, beberapa media cetak dan daring pun sempat merasakan hal serupa. Salah satunya, ketika dia enggan memberikan komentar saat ditanya seorang wartawan The Jakarta Post.

Alasannya, media berbahasa Inggris itu secara terang-terangan mendukung Joko Widodo melalui kolom editorial mereka. Usai jumpa pers, Prabowo menyambangi wartawan tersebut dan meminta maaf sambil merangkulnya.

Bagaimana dengan calon presiden (capres) yang juga petahana, Joko Widodo? Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun pernah berang kepada wartawan beberapa hari setelah dilantik menjadi presiden pada 2014.

Akar masalahnya adalah media massa nasional memberitakan bahwa dia batal mengumumkan Kabinet Kerja di Terminal Tiga Pelindo II, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Saat itu, Jokowi bertanya kepada wartawan siapa yang menyuruh mereka datang ke Tanjung Priok dan mengapa media massa memberitakan penyusunan kabinet dibatalkan, padahal dia hanya menyiapkan tempat. Selain itu, menurutnya, tidak ada ucapan dari siapapun yang menyatakan bahwa pengumuman kabinet tidak jadi.

Jokowi menyebut berita tentang batalnya membuka nama menteri tidak tepat. Dia menuturkan dirinya belum bisa melansir nama para pembantunya karena masih menunggu rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Setelah itu, relatif tidak pernah terlihat lagi sikap Presiden yang menunjukkan arogansinya kepada wartawan.

Meski, memang setahun lalu dia pernah menyentil media agar tidak hanya menyampaikan kabar negatif, tapi juga berita yang kreatif, inovatif, dan penuh optimisme. Jokowi menegaskan jika media saja tidak memberikan pesan positif, maka masyarakat sulit menumbuhkan sikap positif sehingga menciptakan pandangan baru.

Di sisi lain, keakraban Jokowi dengan wartawan beberapa kali terlihat. Salah satunya saat acara buka puasa bersama di kediaman dinas Ketua MPR Zulkifli Hasan di Jakarta, Juni lalu.

Ketika itu, usai berbuka puasa, dia menghampiri para wartawan yang sudah menunggu kemudian menyerahkan secarik kertas. Para jurnalis yang hadir diminta untuk membaca kertas tersebut sendiri.

“Ini menu makanan berbuka saya tadi,” ucap Jokowi sembari memastikan wartawan telah melihat isi kertas tersebut.

Tak lama berselang, dia pun berjalan dengan santai menuju mobil dinas meninggalkan para wartawan yang tertawa setelah sadar sedang dikerjai.

Para wartawan yang bertugas di Istana Negara juga tak jarang diajak makan bersama oleh mantan Walikota Solo itu.

Jokowi menyebut wartawan sebagai orang yang selalu memberikan kritik, masukan, dan saran kepadanya. Itulah kenapa dia selalu menganggap mereka sebagai sahabat. Dia juga takjub dengan kinerja pemburu berita yang selalu ada di hadapannya setiap kali turun dari mobil.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mencoba menganalisis cara berbicara kedua capres. Dia menilai semua niat yang disampaikan Prabowo adalah baik dengan mengkritik pers dan media juga harus terima dan siap jika dikritik.

“Hanya, pilihan kata yang dipakai tidak tepat. Narasi yang disampaikan kurang produktif. Tapi harusnya Prabowo paham pers dalam memuat sesuatu tidak ada paksaan,” paparnya saat dihubungi Bisnis.com, Kamis (13/12/2018).

Sementara itu, Emrus melihat Jokowi memiliki relasi yang bagus dengan media. Ketika ada sesuatu yang tidak tepat, capres nomor urut 01 ini bisa dengan baik menerangkan poin yang menjadi masalah agar para pencari berita bisa membuat karya yang berimbang.

Di balik itu semua, baik Jokowi maupun Prabowo diminta tetap menjadi apa adanya tanpa harus ada yang diubah. Tetapi, kampanye yang mereka lakukan diharapkan dapat memberi kesejukan di tengah masyarakat.

“Tidak ada lagi ucapan 'tampang Boyolali' atau genderuwo. Kita harapkan narasi politik yang disampaikan bisa membuat perbincangan produktif dengan menyampaikan program,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper