Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sofyan Basir Jelaskan Alasan PLTU Riau-1 Gunakan Penunjukan Langsung

Pelaksanaan proyek PLTU Riau-1 diubah dari tender terbuka biasa menjadi penunjukkan langsung. Hal itu dijelaskan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakart, Kamis (25/10/2018).
Direktur Utama PLN Sofyan Basir saat memberikan keterangan pers tentang penggeledahan kediamannya oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Senin (16/7/2018)./ANTARA-Aprillio Akbar
Direktur Utama PLN Sofyan Basir saat memberikan keterangan pers tentang penggeledahan kediamannya oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Senin (16/7/2018)./ANTARA-Aprillio Akbar

Bisnis.com, JAKARTA - Pelaksanaan proyek PLTU Riau-1 diubah dari tender terbuka biasa menjadi penunjukkan langsung. Hal itu dijelaskan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakart, Kamis (25/10/2018).

"Mekanisme PLTU MT Riau-1 tadinya tender terbuka biasa. Iktikad kami baik untuk menurunkan tarif listrik nasional," kata Direktur Utama PLN Sofyan Basir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Sofyan mengatakan bahwa pihaknya mencari beberapa alternatif, salah satunya ada potensi dari mulut tambang karena cara yang lama harga batu bara mahal, apalagi lokasinya jauh dari jalanan.

"Bila dibeli, harganya mahal sekali dan PLN akan rugi. Karena harga batu baranya turun 50%, kami mulai dengan mulut tambang," katanya.

Sofyan bersaksi untuk pemegang saham Blakgold Natural Resources Ltd. Johanes Budisutrisno Kotjo yang didakwa memberikan hadiah atau janji kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Umum Partai Golkar (saat itu) Idrus Marham senilai Rp4,75 miliar terkait dengan pengurusan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU MT Riau-1.

"Kami sampaikan bagaimana kalau dibangun pembangkit di sebelah tambang itu karena pembangkit di sebelah batu bara. Jadi, batu bara bernilai dan kami jadikan nilai tambah karena kami yang membuat listrik. Bukan batu bara yang dibawa ke kota, melainkan listrik yang dialirkan ke kota," ungkap Sofyan.

Mekanisme ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Peraturan itu mewajibkan pembangunan infrakstruktur ketenagalistrikan dilaksanakan PLN melalui anak perusahaan PLN sebagai bentuk kerja sama PT PLN dengan badan usaha milik asing dengan syarat anak perusahan PLN memiliki saham 51%, baik secara langsung maupun melalui anak perusahaan PT PLN lainnya.

Ia menegaskan bahwa pihaknya yang membuat batu bara jadi berharga dan peran PLN besar. Oleh karena itu, PLN ingin memiliki perusahaan itu.

Akan tetapi, pihaknya tidak punya uang. Maka, pihaknya mengajak investor untuk mencari batu bara untuk membuat pembangkit.

"Kami minta 51% sehingga kami bisa tugaskan ke anak perusahaan lalu anak perusahaan membuat pemilihan langsung, kami dapat perpres itu yang mengubah pola bisnis di PLN," ungkap Sofyan.

Sofyan mengatakan dengan pola tersebut harga jual dari pembangkit bisa turun karena bahan bakunya hanya mengeluarkan biaya gali tanpa ada biaya angkut.

"Pengusaha mau karena dari tadinya batu bara tidak bisa dijual jadi mendapat keuntungan setiap hari setiap tahun karena pasti kami beli batu bara untuk pembangkit," tambah Sofyan.

Tambang yang akan menyuplai batu bara ke PLTU MT Riau-1 itu adalah PT Samantaka Batubara.

PT Samataka Batubara adalah anak perusahaan Blackgold Natural Resources (BNR) yang memiliki 99% saham PT Samantaka, sedangkan Kotjo adalah pemilik dari PT BNR.

"Setelah Blackgold berinteraksi dengan PLN, proses-proses di perjalanan, beberapa bulan kemudian ada pertemuan dengan kami sekitar akhir 2017," ungkap Sofyan.

Atas perbuatannya, Kotjo disangkakan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Editor : Saeno
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper