Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Komite Antikorupsi Minta KPK Selidiki Aktor Intelektual Kasus Meikarta

Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) diwakili oleh pengacara yang juga politisi, Ahmad Yani, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa aktor-aktor intelektual di balik kasus dugaan suap perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Ahmad Yani di KPK/JIBI/BISNIS-Rahmad Fauzan
Ahmad Yani di KPK/JIBI/BISNIS-Rahmad Fauzan

Bisnis.com, JAKARTA - Komite Anti-Korupsi Indonesia (KAKI) diwakili oleh pengacara yang juga politisi, Ahmad Yani, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa aktor-aktor intelektual di balik kasus dugaan suap perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.

Mantan anggota Komisi III DPR RI periode 2009-2014 tersebut mengatakan proses hukum kasus dugaan suap Meikarta untuk tidak berhenti di tersangka-tersangka yang diamankan dalam operasi tangkap tangan saja.

"Kita minta betul agar aktor intelektualnya, James Riady termasuk korporasinya segera diselidiki," ujarnya di KPK, Jakarta, Jumat (19/10/2018).

Pada Kamis (18/10/2018) pagi, KPK menggeledah lima lokasi terkait dengan pengembangan penyidikan kasus dugaan suap perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.

Salah satu lokasi yang digeledah adalah rumah salah satu bos sekaligus putera dari pemilik Lippo Grup Mochtar Riady, yaitu James Riady. Selain itu, lokasi yang digeledah KPK adalah Apartemen Trivium Terrace, Dinas PUPR, Dinas LH, dan Dinas Damkar.

"Sejauh ini disita dokumen terkait perizinan oleh Lippo ke Pemkab (Bekasi) , catatan keuangan, dan barang bukti elektronik seperti komputer dan lain-lain," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (18/10/2018).

Terkait dengan perkara, KPK menetapkan Direktur PT Operasional Lippo Grup Billy Sindoro sebagai salah satu tersangka kasus dugaan suap perizinan proyek Pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.

Selain Billy, KPK menetapkan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin sebagai tersangka penerima.

"Disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji kepada Bupati Bekasi dan kawan-kawan terkait pengurusan perizinan proyek Pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi," ujar Wakil Pimpinan KPK Laode Muhammad Syarif di KPK, Jakarta, Senin (15/10/2018).

KPK juga menetapkan tujuh orang lain sebagai tersangka, yaitu sebagai pihak pemberi Taryudi, Konsultan Lippo Grup; Fitra Djaja Kusuma, Konsultan Lippo Grup; dan Henry Jasmen, Pegawai Lippo Grup.

Sementara itu, sebagai pihak penerima ditetapkan tersangka sebagai berikut, yaitu Jamaludin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi; Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi; Dewi Tisnawati, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi; dan Neneng Rahmi, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.

Pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek Meikarta seluas total 774 hektar diduga dibagi ke dalam tiga fase, yakni fase pertama 84,6 ha; fase kedua 252,6 ha; dan fase ketiga 101,5 ha.

Fee Proyek

Berdasarkan dugaan KPK, pemberian dalam perkara ini sebagai bagian dari komitmen fee proyek pertama dan bukan pemberian pertama dari total komitmen Rp13 miliar melalui Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Pemadam Kebakaran, dan DPM-PTT.

"Diduga realisasi pemberian sampai saat ini adalah Rp7 miliar melalui beberapa kepala dinas pada April, Mei, dan Juni 2018," lanjut Laode.

Sementara itu, dari lokasi OTT KPK mengamankan barang bukti berupa Uang SGD90 ribu dan uang dalam pecahan Rp100 ribu total Rp513 juta. KPK juga sudah mengamankan tiga unit mobil, yakni Toyota Avanza, Toyota Innova, dan BMW.

Sebagai pihak penerima ditetapkan tersangka sebagai berikut, yaitu Jamaludin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi; Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi; Dewi Tisnawati, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi; dan Neneng Rahmi, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.

Pihak yang diduga penerima  disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang­ Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Khusus untuk Jamaludin, Sahat MBJ Nahor, Dewi Tisnawati, dan Neneng Rahayu disangkakan melanggar Pasal U huruf a atau Pasal U huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara itu, pihak pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Ancaman pidana untuk penerimaan suap atau gratifikasi sangat tinggi yaitu maksimal 20 tahun atau seumur hidup (Pasal 12 a, b atau Pasal 12 B).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rahmad Fauzan
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper