Bisnis.com, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) mengancam akan melakukan upaya pemanggilan paksa terhadap tersangka mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Agustiawan jika mangkir lagi dari pemeriksaan tim penyidik.
Galaila Karen Agustiawan telah ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi investasi perusahaan di Blok Baster Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009.
Jaksa Agung, M Prasetyo mengaku Kejagung sudah beberapa kali mengirimkan surat panggilan kepada Galaila Karen Agustiawan untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun, menurutnya, meskipun sudah dua kali dikirimkan surat pemanggilan, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) itu masih belum hadir dan berdalih tengah sakit sehingga mangkir dari tim penyidik Kejaksaan Agung.
"Kami harapkan agar (Galaila Karen Agustiawan) kalau dia dipanggil ada kesadaran untuk hadirlah. Apapun alasannya, panggilan untuk penegakan hukum itu harus diutamakan," tuturnya, Jumat (31/8/2018).
Prasetyo menjelaskan Kejagung juga telah menahan dua orang tersangka dalam perkara yang merugikan keuangan negara itu. Dua tersangka itu adalah bekas Direktur Keuangan PT Pertamina Frederik Siahaan dan mantan Manager Merger dan Investasi (MNA) Direktorat Hulu PT Pertamina Bayu Kristanto.
"Step by step ya, kemarin Frederik Siahaan sudah ditahan. Ini bukti kehati-hatian kita tentunya. Kita tidak sembarangan. Kita ingin penanganan kasus ini cermat, obyektif dan proporsional, semuanya terukur," katanya.
Pada kasus tersebut, Kejaksaan Agung sebelumnya juga telah melakukan penahanan terhadap mantan Manager Merger dan Investasi (MNA) Direktorat Hulu PT Pertamina Bayu Kristanto dan mantan Direktur Keuangan PT Pertamina Frederik Siahaan. Namun, sampai saat ini, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan dan Chief Legal Council and Compliance PT Pertamina Genades Panjaitan yang sudah ditetapkan sebagai tersangka bersamaan masih bebas berkeliaran.
Seperti diketahui, Kasus tersebut terjadi pada 2009, di mana Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10% terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase -BMG Project diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai US$31 juta.
Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari.
Ternyata Blok BMG hanya dapat bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi.
Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.
Hasil penyidikan Kejagung menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris. Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara cq Pertamina sebesar US$31 juta dan US$ 26 juta atau setara Rp568 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel