Bisnis.com, JAKARTA – Wacana Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk memantau komunikasi dosen dan mahasiswa dinilai berlebihan dan salah paham.
“Hal itu offside dan justru membuat gaduh ruang publik. Masalahnya di mana, solusinya apa. Itu gambaran dari gagasan pendataan nomor telepon genggam dan media sosial mahasiswa dan dosen,” ujar Anggota DPR Komisi X Anang Hermansyah dalam keterangan tertulis, Sabtu (9/6/2018).
Menurutnya, dari sisi teknis, rencana tersebut akan merepotkan karena program ini merupakan pekerjaan di hilir. Saat ini saja ada 8 juta civitas akademika se-Indonesia yang terdiri dari 7,5 juta mahasiswa aktif, 300.000 dosen/tenaga pengajar, dan tenaga non pendidik 200.000.
“Pertanyaannya, apakah 8 juta orang itu akan dipantau seluruhnya? Sisi teknis tentu akan sulit dan akan memakan biaya negara yang tidak kecil,” tutur Anang.
Sebaiknya, jika pemerintah serius menangkal paham radikalisme di perguruan tinggi (PT), segera dibuat sistem pencegahan yang dilakukan di hulu. Proses masuknya mahasiswa baru di PT harus dimanfaatkan untuk melihat jejak rekam calon mahasiswa.
“Orientasi Pengenalan Kampus harus dimanfaatkan untuk menjadi ajang penguatan karakter calon mahasiswa yang beroeintasi kebangsaan dan ke-Indonesiaan," tambahnya.
Selain itu, PT harus menjadi wadah yang maksimal bagi mahasiswa untuk meningkatkan kreativitas baik pembelajaran organisasi, olahraga maupun seni dan budaya. Unit Kegiatan Mahasiswa harus dikuatkan dengan pelibatan maksimal seluruh mahasiswa.
Anang menilai organisasi kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) harus menjadi pilar utama untuk menangkal paham radikalisme di lingkungan kampus. UKM di bidang dakwah kampus, juga menjadi tulang punggung untuk memastikan aktivitas keagamaan mahasiswa di lingkungan kampus beroreintasi faham keagamaan yang moderat dan berwawasan keindonesiaan.
“Upaya-upaya tersebut jauh lebih strategis dan berkelanjutan daripada mendata dan memantau komunikasi civitas akademika PT," terangnya.