Kabar24.com, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch (ICW) menyerahkan secara simbolis petisi yang menyangkut penolakan terhadap pasal-pasal korupsi di dalam Rancangan Undang-undang tentan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam kesempatan itu, ICW menegaskan sikapnya yang tetap berpegang teguh bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (tipikor) harus berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Karena, pertama, draft revisi RUU itu sudah ada sejak tahun 2012, tapi belum pernah ada niat baik dari pemerintah maupun DPR untuk membahas soal revisi UU Tipikor, yang mana itu akan lebih akomodatif dibandingkan dengan memasukkan UU anti korupsi ke dalam RUU," papar peneliti ICW, Lalola Easter.
Dia menambahkan, akan lebih sulit melakukan revisi RUU KUHP dibandingkan dengan RUU Tipikor.
Lalola menegaskan persoalan RUU KUHP bukan hanya concern KPK, tetapi juga lembaga-lembaga independen lain yang memiliki kewenangan untuk menangani tidak pidana khusus., seperti BNN, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Anak, dan BNPT.
"Seperti diketahui, semua lembaga independen tersebut memiliki kepentingan yang sama dengan KPK, yaitu bagaimana agar delik-delik tindak pidana khusus ini bisa tetap diatur di luar RUU KUHP," lanjutnya.
Berdasarkan kajian KPK, sedikitnya dari 22 tindak pidana khusus yang diatur di luar KUHP yang berlaku, hanya 14 di antaranya yang ditarik ke dalam RUU KUHP. Dengan demikian, terdapat delapan tindak pidana khusus lainnya yang tidak diatur dalam RUU KUHP.
"Kenapa Pemerintah dan DPR atau pembentuk undang-undang memutuskan untuk hanya 14 bentuk tindak pidana ini yang hanya masuk ke dalam RUU KUHP? Kejelasan itu tidak pernah ada, bahkan dalam naskah akademik yang keluar tahun 2014 sekalipun," tutur Lalola.
Terkait dengan persoalan ini, KPK sudah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo, Panitia Kerja, dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM).
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, jangan sampai kemudian aturan yang baru tersebut justru membuat kerumitan tersendiri, sehingga memberikan ruang atau menguntungkan bagi para pelaku korupsi.
"Untuk itu, KPK berharap persoalan ini bisa didengar dan ditindaklanjuti baik oleh Presiden dan DPR," ujar Febri, Senin (4/6/2018) di KPK.