Bisnis.com, JAKARTA -- Polemik adanya dua audit BPK yang hasilnya berbeda terkait perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke Sjamsul Nursalim menjadi sorotan wakil rakyat.
Anggota Komisi XI DPR Haerul Saleh mengaku heran terhadap dua hasil audit yang berbeda. Pada audit 2006, dinyatakan tidak ada kerugian negara sedangkan hasil audit 2017 menyatakan ada unsur kerugian negara.
“Ini ada apa? Lembaga yang sama bisa menghasilkan dua audit yang berbeda hasilnya. Bagaimana publik bisa percaya kalau BPK adalah lembaga yang kredibel? Kami akan mempertanyakan dalam rapat dengan BPK,” ujarnya, Rabu (30/5/2018).
Margarito Kamis, pakar hukum tata negara, mengatakan audit tersebut terkesan hanya menghitung selisih angka penjualan untuk menentukan adanya unsur kerugian negara. Menurutnya, yang terpenting dalam audit investigatif adalah soal bahan atau material yang digunakan dalam melakukan audit.
“Semua harus diperiksa, dari mulai dokumen, surat-surat, laporan-laporan, itu yang mesti dicek. Jangan cuma menghitung selisih, itu bukan kesimpulan namanya, “ jelas Margarito.
Selain itu, lanjutnya, audit harus sesuai dengan prinsip ketaatan dalam mengikuti panduan yang diterbitkan oleh BPK yakni Peraturan BPK No.1/2017. Aturan itu menyatakan suatu laporan audit harus menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan atau tertulis dari pihak yang diperiksa.
“Kalau data-data yang digunakan dalam mengaudit tidak valid, maka hasilnya juga tidak bisa dijadikan alat untuk membuktikan seseorang menjadi tersangka. Kesimpulan dari data yang tidak valid akan sangat fatal akibatnya,” ungkap Margarito.
Seperti diketahui, pada 25 Agustus 2017 BPK telah menyampaikan potensi perhitungan kerugian negara sebesar Rp4,58 triliun. Adanya temuan BPK itu terjadi karena hak tagih Rp 4,8 triliun telah dijual oleh Menteri Keuangan pada 2017 sebesar Rp220 miliar.
Margarito menilai BPK hanya sekedar menghitung selisih dalam audit investigatif.
Ahmad Yani, salah seorang kuasa hukum Syafruddin Temenggung, menyatakan kalaupun ada potensi kerugian negara yang melaksanakan penjualan bukan Ketua BPPN Syafruddin Temenggung tapi Menteri Keuangan dan PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) dan penjualan aset itu setelah penutupan BPPN pada 2004.
“Ketika BPPN tutup hak tagih sebesar Rp 4,8 triliun, utuh diserahkan kepada Menteri Keuangan. Kalau misalnya penjualannya oleh Kementerian Keuangan pada 2007 tidak sebesar Rp 220 miliar, misalnya Rp1 triliun, mungkin hitungan kerugian negaranya juga berbeda,” paparnya.
Sebelumnya, dalam persidangan Senin (298/5), tim jaksa penuntut umum yang berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa audit BPK tersebut sudah masuk dalam pokok perkara sehingga eksepsi dari terdakwa yang menyinggung hal itu harus ditolak oleh majelis hakim.