Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Berita Terorisme di Media Massa, Begini Pandangan Ahli Komunikasi

Sejak kasus penyerangan teroris di Mako Brimob beberapa waktu lalu, kemudian disusul dengan adanya serangkaian aksi bom bunuh diri di Surabaya, media massa tanpa henti memberitakan perkembangan aksi teror.
Petugas memeriksa mobil yang rusak akibat terkena ledakan bom di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5/2018). Ledakan terjadi pada Senin (14/5) pagi di pos penjagaan pintu masuk Polrestabes Surabaya./JIBI-Wahyu Darmawan
Petugas memeriksa mobil yang rusak akibat terkena ledakan bom di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5/2018). Ledakan terjadi pada Senin (14/5) pagi di pos penjagaan pintu masuk Polrestabes Surabaya./JIBI-Wahyu Darmawan

Bisnis.com, JAKARTA - Sejak kasus penyerangan teroris di Mako Brimob beberapa waktu lalu, kemudian disusul dengan adanya serangkaian aksi bom bunuh diri di Surabaya, media massa tanpa henti memberitakan perkembangan aksi teror di Indonesia.

Dalam satu buku karya Indiwan Seto Wahjuwibowo yang berjudul Terorisme dalam Pemberitaan Media: Analisis Wacana Terorisme Indonesia, dituliskan bahwa terorisme di Indonesia tidak banyak memanfaatkan media, terutama karena sudut pandang yang dipakai oleh media hanya berasal dari pihak yang berwenang meski aksi teror itu sendiri sudah cukup vulgar untuk diberitakan.

Dosen Metodologi Penelitian Komunikasi dan Komunikasi Antar-Budaya di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) tersebut memberikan pandangannya kepada Bisnis terkait dengan pemberitaan mengenai terorisme di media massa Indonesia selama beberapa hari belakangan.

Sebelumnya, perlu untuk diketahui, buku Terorisme dalam Pemberitaan Media: Analisis Wacana Terorisme Indonesia adalah hasil dari penelitian disertasi Indiwan tentang pemberitaan salah satu media nasional pada 2010.

"Pada prinsipnya memang media kesulitan mencari sumber alternatif yang bisa menyuarakan keseimbangan pemberitaan khususnya media memang kesulitan untuk cover both sides dan tidak hanya memuat pernyataan dari aparat berwenang seperti Densus 88, kepolisian dan aparatur resmi," papar Indiwan kepada Bisnis Selasa (15/5/2018).

Hingga kini, lanjutnya, operasi teroris memang dilakukan dalam sel yang sunyi, artinya mereka tidak melakukan serangan secara terbuka dan mengungkapkan bahwa ada kelompok yang mengklaim tindakan itu adalah tindakan kelompok mereka.

Dalam memberitakan masalah terorisme, Indiwan mengatakan sumber dari pihak teroris masih kurang dan tidak sebanyak informasi yang diperoleh dari aparat berwenang.

"Kurangnya sumber dari pihak teroris atau narasumber yang dianggap mewakili kepentingan teroris membuat media massa hanya mengandalkan informasi dan konfirmasi dari aparat berwenang," ujarnya.

Namun demikian, hal ini dianggap sangat wajar oleh Indiwan, karena media massa mainstream tidak mau dianggap proteroris apabila selalu menyuarakan kepentingan dari kelompok pendukung teroris.

Dia menambahkan karena tidak mungkin diapresiasi oleh media mainstream, media sosial menjadi alternatif yang paling logis untuk dipakai oleh kelompok pendukung aksi terorisme.

"Wajar saja akhirnya Facebook, Twitter, dan Youtube dipenuhi oleh informasi hoaks yang terkadang sulit dicari tahu sumbernya," ungkapnya.

Indiwan juga memaparkan pandangannya terkait dengan alasan media massa nasional tidak mau memberitakan kepentingan teroris.

"Media massa nasional, resmi, dan besar tentunya tidak akan mau menyerukan kepentingan teroris, karena dari sisi nasionalis tentunya media besar lebih mementingkan kepentingan nasional," paparnya.

Bahkan, lanjutnya, dari hasil wawancaranya pada 2014 dengan seorang wartawan senior, terungkap saat menghadapi teroris, media akan bersekutu dengan pemerintah soal kebijakan pemberitaannya karena media memang tidak mau dijadikan corong kepentingan terorisme.

Memang, beberapa hari belakangan muncul wacana untuk tidak menyebarluaskan informasi yang datang dari atau pun yang mempertontonkan tindakan-tindakan terorisme. Dengan alasan hal tersebut merupakan propaganda serta bagian dari tujuan terorisme.

Menanggapi hal tersebut, Indiwan mengatakan media memang harus berpihak. "Media nggak bisa netral. Dalam hal ini harus lebih berpihak pada pemberantasan terorisme bukan sekadar mencari keseimbangan berita.”

Media, tuturnya, harus berpihak pada kelompok atau pihak yang melawan terorisme. “Saya pikir wajar saja kalau media lebih membela kepentingan nasional, lebih membela kemanusiaan, dan tidak memberi kesempatan ide atau gagasan terorisme muncul di ruang publik dalam pemberitaan mereka."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rahmad Fauzan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper