Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Uji Materi Pasal Makar: Begini Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi meminta aparat penegak hukum untuk tidak mengenakan delik makar kepada warga negara secara sewenang-wenang.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) berpose dengan hakim konstitusi seusai mengikuti prosesi pelantikan Ketua MK periode 2017-2020 dalam Sidang Pleno Khusus di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/7)./ANTARA-Wahyu Putro A
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) berpose dengan hakim konstitusi seusai mengikuti prosesi pelantikan Ketua MK periode 2017-2020 dalam Sidang Pleno Khusus di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/7)./ANTARA-Wahyu Putro A

Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi meminta aparat penegak hukum untuk tidak mengenakan delik makar kepada warga negara secara sewenang-wenang.

Aparat tetap dapat menggunakan pasal-pasal tindak pidana makar dalam UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun, kritik terhadap pemerintah diperbolehkan asalkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar sehingga tidak jadi alat membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi semangat UUD 1945,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan uji materi KUHP di Jakarta, Rabu (31/1/2018).

Hari ini, MK memberikan putusan terhadap dua gugatan delik makar KUHP masing-masing bernomor 7/PUU-XV/2017 dan 28/PUU-XV/2017. Perkara pertama diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang memohonkan pengujian Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140.

Adapun, perkara 28/PUU-XV/2017 dilayangkan oleh pegiat HAM dan pemuka gereja asal Papua dengan permohonan uji materi Pasal 104, 106, 107, 108, 110. Pemohon perkara ini sebagian menjadi tersangka dalam kasus makar.

Kedua pemohon sama-sama meminta pasal makar dihapuskan karena tidak memiliki definisi yang jelas. ICJR, misalnya, memohonkan agar frasa makar harus dimaknai sebagai 'aanslag' atau 'serangan' bukan semata 'niat'.

Iwan K. Niode, kuasa hukum pemohon perkara 28/PUU-XV/2017, mengakui perbuatan represif aparat selama ini menjadi salah satu alasan kliennya mengajukan gugatan. Namun, dia pesimistis aparat penegak hukum bisa berubah walaupun permintaan kepada aparat dimasukkan dalam pertimbangan putusan MK.

“Itu kan sebetulnya kalimat untuk mengobati kami punya hati saja, tetapi tidak akan berdampak apa-apa di Papua,” ujarnya seusai sidang.

Iwan mengatakan penafsiran perbuatan makar kembali diserahkan kepada polisi, jaksa, dan hakim. Padahal, menurut dia, perbuatan yang selama ini dianggap makar oleh polisi tidak secara otomatis bermotif politik.

“Aparat ketika melihat seseorang menaikkan bendera Bintang Kejora langsung dinilai makar. Apakah benar ketika menaikkan bendera itu dalam rangka memisahkan NKRI atau serangan terhadap pemerintah?” tanyanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper