Kabar24.com, JAKARTA — LBH Masyarakat mengkritik keterlibatan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam pengungkapan kasus paracetamol caffeine carisoprodol atau PCC.
Seperti diketahui, BNN melakukan penindakan dugaan penyalahgunaan PCC di Semarang pada Minggu (3/12/2017).
Yohan Misero, analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat mengatakan BNN semestinya tidak terlibat dalam, apalagi memimpin, operasi tersebut mengingat badan itu hanya berwenang untuk mengurusi narkotika dan dan secara hukum karena PCC bukanlah narkotika.
“Pasal 70 huruf b UU No.35/2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa tugas BNN adalah memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Di sisi lain, Pasal 1 angka 1 UU Narkotika menyebutkan bahwa “narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis…yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam aturan ini,” ujarnya, Senin (4/12/2017).
Dia mengatakan, merujuk pada sejumlah peraturan di atas, semestinya BNN hanya mengerjakan kasus yang zatnya memang sudah disebut dalam lampiran UU Narkotika. Lampiran UU Narkotika yang terakhir, yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2017, tidak mencantumkan PCC di dalam zat yang dilarang.
LBH Masyarakat, lanjutnya, memandang bahwa elemen penegak hukum yang lebih tepat, secara hukum, untuk mengurusi persoalan PCC ini adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Kasus ini lebih tepat dikenakan dengan Pasal 196 dan/atau Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang melarang produksi dan peredaran sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar kualitas dan tanpa izin edar.
Polri berwenang untuk menyelesaikan perkara di UU Kesehatan sedangkan BNN tidak memiliki kewenangan tersebut. Wewenang BNN terbatas pada UU Narkotika saja.
BNN, lanjutnya, hanya berwenang untuk menangani hal ini apabila ada kandungan zat-zat narkotika atau prekursor yang sudah terdaftar dalam Permenkes 41/2017 di dalam sampel pil-pil yang menuntun BNN ke pengungkapan ini atau di dalam pil-pil yang di dapatkan dalam upaya penggebrekan ini.
Apabila situasinya memang demikian, LBH Masyarakat mengimbau pada BNN maupun rekan-rekan media untuk tidak memakai terminologi pil PCC dalam reportase kasus ini.
“Bagaimanapun juga, PCC merujuk pada satu obat tertentu yang, meski tak lagi beredar di Indonesia, digunakan untuk pemulihan beberapa jenis penyakit. Sungguh tidak bijak apabila obat yang memiliki potensi manfaat medis justru distigma sebagai hal yang meracuni masyarakat dan kemudian didramatisir secara berlebihan. Beberapa liputan, ahli, dan pemeriksaan juga telah menyebut bahwa pil-pil yang ditemukan di Kendari pada insiden beberapa waktu lalu juga tidak murni PCC atau bahkan bukan PCC sama sekali,” katanya.
LBH Masyarakat, katanya, mendukung penuh upaya penghentian peredaran obat-obatan ilegal. Namun dalam melakukan upaya pemberantasan, penegak hukum tetap perlu mempertimbangkan aspek hak asasi manusia dan ketentuan hukum.
“Jangan sampai kasus dan temuan sepenting ini kemudian tidak dapat diproses lebih jauh karena persoalan pelanggaran hukum acara. Tentu kita tidak mau persoalan pajak kita diurus oleh Satpol PP. Kita juga tidak mau persoalan imigrasi kita diurus oleh militer atau KPK, bukan? Konstitusi Indonesia jelas menyebut bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kita harus hormati hal itu untuk semua urusan, termasuk narkotika dan obat ilegal,” pungkasnya.