Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengenang 30 Tahun Black Monday, Akankah Terulang?

Kemarin, Kamis 19 Oktober, tepat menjadi peringatan ke-30 tahun jatuhnya pasar saham AS atau Wall Street. Kejadian yang dijuluki dengan Black Monday tersebut menjadi peristiwa monumental yang terus dikenang sebagai peringatan akan risiko serupa di masa depan.
Bursa Wallstreet/Reuters
Bursa Wallstreet/Reuters

 Kemarin, Kamis 19 Oktober, tepat menjadi peringatan ke-30 tahun jatuhnya pasar saham AS atau Wall Street. Kejadian yang dijuluki dengan Black Monday tersebut menjadi peristiwa monumental yang terus dikenang sebagai peringatan akan risiko serupa di masa depan.

Kini, tiga dekade usai peristiwa tersebut terjadi, kondisi pasar saham AS justru terus mengukir rekor baru. Secara umum, kinerja bursa saham Paman Sam masih menunjukkan sisi positif lantaran terus mencatat kenaikan.

Akan tetapi, para pelaku pasar kini justru was-was menanti kapan bursa ini mengalami koreksi. Mereka khawatir, rekor yang terus melonjak ini juga akan dibarengi oleh risiko pukulan tak terduga yang terus membesar. Sentimen tersebut ditakutkan akan menciptakan koreksi tajam, kendati sejauh ini pendapatan perusahaan dan pertumbuhan ekonomi relatif sehat.

Kini, pertanyaan pun muncul, apakah peristiwa Black Monday bisa kembali terjadi? Para ekonom pun menjawab bahwa secara normal hal itu sangat kecil kemungkinannya untuk kembali terulang. Teknologi perdagangan modern telah mengubah pola bursa saham beroperasi dan bagaimana mengelola dana investor.

Meskipun, para ekonom menyebut kecilnya kemungkinan tersebut,  rupanya para pedagang tak langsung percaya begitu saja. Mereka memilih untuk tetap berhati-hati dan menolak untuk mengesampingkan risiko kembali jatuhnya bursa AS.

"Kami telah belajar banyak dari kesalahan masa lalu dalam hal respon atau reaksi berlebihan," kata Ken Polcari, Director of the NYSE Floor Division di O'Neil Securities, seperti dikutip dari Reuters, (20/10).

Seperti diketahui, apabila menilik peristiwa pada Senin 19 Oktober 1987, indeks Dow Jones Industrial  average (DJI) mengalami kejatuhan parah, mengikuti penurunan yang terjadi di pasar Asia dan Eropa.  Kala itu DJI anjlok 508 poin atau 22,6%. Pada periode tersebut penurunan itu menjadi yang terbesar dalam satu hari.

Mengenang 30 Tahun Black Monday, Akankah Terulang?

Namun, kondisi sebaliknya terjadi saat ini, Indeks Dow Jones Industrial Average akhirnya berhasil melampaui level 23.000 untuk pertama kalinya pada penutupan perdagangan Rabu (18/10) waktu setempat  atau Kamis pagi WIB.

Kampanye positif itu berlanjut pada Kamis (19/10) waktu setempat atau Jumat pagi WIB. Indeks Dow Jones Industrial Average kembali naik tipis 0,02% atau 5,44 poin dan berakhir di level 23.163,04. Sementara itu indeks S&P 500 naik 0,03% atau 0,84 poin di 2.562,1.

Meskipun mengukir rekor, Kepala Strategi Pasar Wunderlich Securities di New York Art Hogan mengatakan penurunan hingga 20% di Wall Street dalam satu hari tetap mungkin terjadi saat ini. Kendati demikian penurunan akan terjadi secara terukur.

"Kami memiliki kemampuan untuk menutup atau menghentikan segalanya untuk jangka waktu tertentu dan menilai kembali dan mencoba untuk memastikan bagaimana untuk memulai kembali secara lebih tenang," katanya.

 

Pengawasan

Adapun, seusai terjadinya peristiwa bersejarah yakni Black Monday di Wall Street, Komisi Sekuritas dan Bursa Efek AS (SEC) mengamanatkan pembuatan ‘pemutus sirkuit’ (circuit breaker) di seluruh pasar saham AS.  Pemutus sirkuit itu akan menghentikan sementara perdagangan setelah indeks DJI turun setiap 10%, 20% dan 30%.

Akan tetapi langkah itu hanya pernah diaplikasikan pada 1997. Terlalu tingginya ketentuan pelaksanaan pemutusan sirkuit menjadi alasannya. Akhirnya, pada 2012 SEC merevisi kebijakan itu. Otoritas tersebut  menurunkan ambang batas yang diperlukan untuk memicu jeda perdagangan. Salah satu caranya  dengan mengganti DJI dengan indeks saham S&P 500 sebagai indeks acuan.

Mengenang 30 Tahun Black Monday, Akankah Terulang?

Berdasarkan peraturan saat ini, jika indeks S & P 500 turun lebih dari 7,0% sebelum pukul 03:25 waktu New York, maka perdagangan dihentikan sementara selama 15 menit. Jika penurunan berlanjut setelah perdagangan dilanjutkan, dan masih sebelum pukul 3.25, pasar lagi-lagi dihentikan di level 13%.

Selanjutnya, jika terjadi penurunan setelah pukul 3.25, perdagangan akan dibiarkan terus berlanjut. Akan tetapi jika penurunannya mencapai 20%, maka perdagangan akan ditangguhkan hingga waktu yang tak ditentukan.

Kala itu, SEC menyetujui skema tersebut yang dinamai ‘Limit-Up Limit-Down’. Pada dasarnya aturan itu akan mencegah saham diperdagangkan di luar kisaran tertentu berdasarkan harga terbaru dan menghentikan perdagangan saham tertentu dalam kondisi yang tidak normal.

Baru-baru ini, SEC pun kembali dipaksa untuk melakukan penyesuaian terhadap skema penahan terjadinya penurunan tajam di bursa AS. Penyesuaian terutama dilakukan pada prosedur pembukaan kembali saham yang dijeda setelah mengalami penurunan atau kenaikan yang tidak wajar. Penyesuaian ini dilakukan setelah sebuah sesi perdagangan pada Agustus 2015 mengalami kekacauan.

“Dengan munculnya teknologi komputerisasi dan kecepatan teknologi yang telah mengubah pasar, pengulangan terjadinya peristiwa Black Monday sangat terminimalisir. Meskipun potensi negatif tetap ada," kata Peter Costa, Presiden Empire Executions Inc di New York, seperti dilansir dari Reuters.

Peringatan akan masih adanya potensi berulangnya peristiwa Black Monday juga disuarakan oleh Gordon Charlop, Managing Director Rosenblatt Securities di New York. Dia memperkirakan skema kontrol perdagangan tersebut mungkin akan berlaku pada peristiwa yang serupa dengan Black Monday, namun belum tentu untuk skema bergaya lainnya.

Terlebih ketika indeks DJI menembus 23.000 baru-baru ini dan munculnya perdagangan otomatis berkecepatan tinggi, beberapa investor tidak begitu yakin skema penanggulangan yang ada saat ini akan cukup untuk meredakan kekacauan baru di Wall Street.

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rahayuningsih
Sumber : reuters, bloomberg

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper