Bisnis.com, TOKYO—Ekspor Jepang kembali melonjak pada Mei, dan menjadi laju tercepat selama lebih dari dua tahun. Lonjakan tersebut diantaranya disebabkan oleh naiknya pengriman produk mobil dan baja.
Data ekonomi terbaru Jepang ini semakin memperkuat indikasi bahwa permintaan luar negeri terus mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Adapun, pemerintah Jepang menyebutkan bahwa ekspor Jepang telah naik 14,9% secara year on year (yoy). Meskipun berada di bawah perkiraan pasar, ang memrediksi ekspor tumbuh menembus 16,1%, capaian pada bulan lalu tersebut masih menjadi yang tertinggi sejak Januari 2015.
Ekspor Jepang diperkirakan akan terus tumbuh selama beberapa bulan ke depan lantaran perekonomian global yang mulai stabil dan terus meningkatnya aktivitas perdagangan global. Fakta itu diharapkan mampu memperkuat aksi ekspansi Jepang.
"Skenario utamanya adalah ekspor Jepang akan terus pulih. " kata Shuji Tonouchi, ekonom senior Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities, seperti dikutip dari Reuters, Senin (19/6/2017)
Ekspor Jepang ke Amerika Serikat naik 11,6% secara yoy pada Mei. Capaian itu menjadi kenaikan ekspor tercepat sejak Juli 2015, karena peningkatan pengiriman suku cadang mobil dan mobil.
Sementara itu, ekspor ke China meningkat 23,9 secara yoy pada Mei, dan melanjutkan tren positif bulan sebelumnya yang mencatat kenaikan 14,8%. Meningkatnya permintaan pengiriman panel datar dan peralatan manufaktur semikonduktor ke China menjadi pendoorong utama kenaikan ekspor ke negara tersebut.
Di sisi lain, data ekspor ke Asia, yang juga mencakup China berhasil naik 16,8% pada bulan lalu. Kenaikan tersebut menjadi yang tercepat dalam tiga bulan, karena peningkatan pengiriman produk elektronik ke Hong Kong dan baja ke Indonesia.
Terpisah, pemerintah Jepang juga melaporkan bahwa impor Jepang naik 17,8% secara yoy pada Mei. Capaian itu lebih tinggi dari perkiaan pasar yang menyebutkan bahwa impor akan tumbuh 14,8% pada bulan lalu.
Kenaikan impor tersebut di antaranya disebabkan oleh naiknya harga minyak yang akhirnya mendorong kenaikan nilai impor.
Dari data ekspor dan impor tersebut, neraca perdagangan Negeri Sakura dilaporkan mengalami defisit 203,4 miliar yen (US$ 1,83 miliar) atau di bawah perkiraan pasar yang memrediksi surplus 76,0 miliar yen.