Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KPK Dorong Perbaikan Tata Kelola Obat di JKN

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong dilakukannya perbaikan tata kelola obat pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ilustrasi: Obat daftar G/Antara
Ilustrasi: Obat daftar G/Antara

Kabar24.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong dilakukannya perbaikan tata kelola obat pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini dilakukan setelah kajian KPK menemukan delapan persoalan pada sejumlah pemangku kepentingan.

 Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di hadapan Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito.

“Sektor kesehatan menjadi perhatian KPK. Karenanya, kami akan terus memantau rencana perbaikan yang akan dilakukan masing-masing pemangku kepentingan,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Rabu (19/10/2016).

Alex menyebut, ke-8 persoalan itu, antara lain ketidaksesuaian Formularium Nasional (Fornas) dan E-catalogue; Aturan perubahan Fornas berlaku surut melanggar asas kepastian hukum; mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal; dan tidak akuratnya rencana kebutuhan obat (RKO) sebagai dasar pengadaan e-catalogue.

Empat lainnya, yakni ketidaksesuaian daftar obat pada Panduan Praktik Klinis (PPK) FKTP dengan Fornas FKTP; belum ada aturan minimal kesesuaian Fornas pada Formularium RS/Daerah; belum optimalnya monitoring dan evaluasi terkait pengadaan obat; serta lemahnya koordinasi antar-lembaga.

Alex merinci ,salah satu persoalan, yakni pada ketidaksesuaian Fornas dan e-catalogue. Fornas disusun untuk mengendalikan mutu, sedangkane-catalogue dibuat untuk mengendalikan biaya. Namun, fakta di lapangan ternyata tidak semua obat Forornas tayang di e-catalogue. Sebaliknya, ada juga obat yang tidak masuk Fornas,  tetapi tayang di e-catalogue.

“Kondisi ini mengakibatkan terdapat obat yang tidak memiliki acuan harga sebagai dasar BPJS Kesehatan membayar klaim. Selanjutnya, juga menimbulkan kesulitan bagi faskes untuk melakukan pengadaan obat karena tidak semua obat yang dbutuhkan tersedia,” jelas Alex.

Persoalan lain, Alex menjelaskan, tidak akuratnya RKO sebagai dasar pengadaan e-catalogue. Data RKO yang dihimpun Kementerian Kesehatan dari Dinkes dan Faskes saat ini belum akurat, karena belum semua pihak menyampaikan RKO sebagai dasar pengadaan obat di e-catalogue. 

Komitmen

Selain itu, data RKO yang ada pun melenceng jauh dari realisasi belanja obat. Di sisi lain menimbulkan kerugian pada industri farmasi, karena ketidakpastian pemenuhan komitmen yang telah mereka berikan.

“Ini tentu saja menimbulkan kondisi kekosongan stok obat atau kelebihan stok obat,” katanya.

Sementara itu, menanggapi hasil kajian ini, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek menyadari sejumlah kendala yang berada dalam kendali kementeriannya, misalnya terkait Fornas dan RKO. Ia mencontohkan wilayah Papua, Kemenkes mengaku kesulitan dalam mengumpulkan RKO, karena kondisi geografi yang ekstrem.

“Namun begitu, ini kami anggap sebagai tantangan yang harus diselesaikan. Akan kami perhatikan betul,” katanya.

Komitmen yang sama juga ditunjukkan Ketua BPOM Penny Kusumastuti Lukito yang menyatakan komitmennya untuk melakukan perbaikan pada tata kelola obat, khususnya yang terkait pada kewenangannya. Misalnya persoalan yang terkait nomor izin edar (NIE) dan pengawasan post-market.

“Kami siap berkoordinasi dengan pihak lain untuk melakukan perbaikan,” katanya.

Sebagai informasi, kajian tata kelola obat dilakukan karena sejumlah alasan. Di antaranya belanja obat di Indonesia cukup tinggi, yakni berkisar 40 persen dari belanja kesehatan; mahalnya harga obat; perbandingan harga obat generik dengan generik bermerk yang cukup tinggi; penggunaan obat generik yang relatif rendah (sekitar 60-70%, Data Kementerian Kesehatan, 2014).

Selain itu, penggunaan e-catalogue obat juga belum optimal, baru sekitar 89% pada dinas kesehatan dan 33% pada rumah sakit pemerintah (Sumber: LKPP dan Kemenkes, 2015); serta persaingan ketat pada industri farmasi sehingga mengakibatkan tingginya biaya promosi dari biaya produksi.

Dari sini, KPK mendorong para pihak melakukan perbaikan yang komprehensif dan terpadu. KPK merekomendasikan Kementerian Kesehatan untuk menerbitkan aturan yang belum ada, melakukan perbaikan dan sinkronisasi aturan yang bertentangan dalam pelaksanaan Fornas, serta penyusunan RKO dan pengadaan melalui e-catalogue.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Nancy Junita

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper