Kabar24.com, LONDON - Isu penerapan hukuman mati menjadi masalah yang mengemuka pada Sidang PBB soal obat-obatan terlarang dan narkoba.
Ketua delegasi RI yang juga Dubes RI untuk Badan PBB di Wina, Rachmat Budiman, memimpin penyampaian posisi dan sikap bersama negara-negara terkait hukuman mati pada pembukaan Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa khusus membahas masalah obat-obatan terlarang dan narkota di dunia yang berlangsung di Markas PBB New York.
Selain Indonesia, negara-negara yang tergabung dalam like-minded countries tersebut adalah RRT, Singapura, Yaman, Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, Mesir, Saudi Arabia, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Bahrain, Iran, dan Sudan, kata Minister Counsellor KBRI Wina, Dody Sembodo Kusumonegoro kepada Antara London, Kamis (21/4/2016).
Pernyataan tersebut disampaikan sesaat setelah adopsi outcome document UNGASS sebagai respon atas pernyataan Uni Eropa, Swiss, Norwegia, Turki, Uruguay, Kosta Rika, Kanada, Meksiko, Kolombia, Brasil, Australia, dan Selandia Baru terkait kekecewaan mereka atas tidak dimuatnya isu hukuman mati dalam outcome document UNGASS.
Negara-negara tersebut menegaskan kembali sikap mereka yang menentang hukuman mati dan terus mendesak negara-negara yang masih menerapkannya untuk melakukan moratorium menuju penghapusan hukuman mati.
Hal-hal yang disampaikan Indonesia dalam pernyataan bersama tersebut antara lain tidak ada hukum internasional yang melarang pelaksanaan hukuman mati, pelaksanaan hukuman mati merupakan bagian dari implementasi sistem hukum pidana yang diputuskan oleh otoritas yang berwenang.
Ditegaskan, setiap negara memiliki hak berdaulat untuk menentukan sistem politik, hukum, ekonomi dan sosial yang pantas sesuai kepentingan dan kondisi masing-masing negara.
Hukuman mati merupakan bagian penting komponen hukum yang dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang sangat serius termasuk kejahatan narkoba dan pelaksanaan hukuman mati telah mempertimbangkan proper legal safeguard yang tepat dan adil.
Penunjukkan Indonesia mewakili like-minded countries dalam penyampaian posisi bersama merupakan kesepakatan dan bentuk kepercayaan negara like-minded countries mengingat peran Indonesia sebagai salah satu leading country yang selama ini secara aktif dan berpengaruh dalam menentang isu hukuman mati dalam forum multilateral, khususnya UNODC.
Pernyataan bersama tersebut juga sangat penting untuk menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan di antara negara-negara terkait pembahasan isu hukuman mati di forum multilateral.
UNGASS merupakan salah satu konferensi terbesar PBB dan memainkan peran penting dalam mendukung tercapainya tujuan dan target Political Declaration and Plan of Action on international cooperation toward an integrated and balanced strategy to counter the world drug problem tahun 2019.
Pertemuan tersebut berhasil mengadopsi outcome document UNGASS berisi rekomendasi-rekomendasi operasional guna mendukung pencapaian target Political Declaration pada tahun 2019.
Pertemuan tersebut dipimpin Presiden Majelis Umum PBB Mogens Lyketofft (Denmark) dan dihadiri beberapa kepala negara Amerika Latin antara lain Presiden Meksiko, Presiden Guatemela, dan Presiden Kolombia, para pejabat setingkat menteri dan lebih dari 3.000 delegasi negara anggota serta organisasi internasional dan NGO.
Selain itu, pertemuan juga dihadiri oleh Executive Director UNODC, Yuri Fedotov dan Presiden INCB serta WHO.
Delegasi RI pada pertemuan ini dipimpin Duta Besar/Watapri Wina didampingi Watapri New York serta beranggotakan pejabat Kemenlu, Kemenkeu, Kemenkes, Kemensos, Polri, BNN, Badan POM, KBRI/PTRI Wina, dan PTRI New York.