Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indeks Demokrasi Indonesia, UNDP: Diskriminasi Agama Menyebar

United Nations Development Programme (UNDP) menyatakan masalah diskriminasi agama terkait dengan kebebasan sipil menjadi persoalan yang tersebar di seluruh Indonesia dilihat dari pelbagai kasus dan peraturan daerah yang diskriminatif
Polisi menunjukkan foto satu keluarga yang hilang berikut atribut bendera Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Mapolresta Depok, Jawa Barat, Selasa (19/1)./Antara-Indrianto Eko S
Polisi menunjukkan foto satu keluarga yang hilang berikut atribut bendera Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Mapolresta Depok, Jawa Barat, Selasa (19/1)./Antara-Indrianto Eko S

Kabar24.com, JAKARTA—United Nations Development Programme (UNDP) menyatakan masalah diskriminasi agama terkait dengan kebebasan sipil menjadi persoalan yang tersebar di seluruh Indonesia dilihat dari pelbagai kasus dan peraturan daerah yang diskriminatif.

Fajar Nursahid, Manajer Proyek Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) UNDP, mengatakan walaupun tingkat demokrasi Indonesia naik dari 2013, namun masalah diskriminasi dalam konteks kebebasan sipil masih terjadi. Dalam hal ini, skor IDI pada 2014 mencapai 73,04 atau meningkat dari periode sebelumnya 63,72.

IDI merupakan indeks yang mengukur tingkat perkembangan demokrasi di seluruh provinsi di Indonesia berdasarkan tiga aspek yakni kebebasan sipil, hak politik, dan lembaga demokrasi. Skor itu terdiri dari di atas 80 (baik); 60-80 (sedang); dan di bawah 60 (buruk).

Fajar memaparkan terdapat tiga wilayah yang dominan mendapatkan skor terburuk  sejak 2009—2014, yakni Sumatra Barat, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Skor terakhir kebebasan sipil periode terakhir menunjukkan masing-masing (47,21); (58,42); dan (58,73).

"Walaupun kasus itu ada di tiga provinsi, namun kasus itu menyebar di pelbagai tempat," kata Fajar dalam keterangannya yang dikutip Senin (14/3/2016).

Dia menuturkan masalah yang dimaksud di antaranya terkait dengan kelompok Syiah, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, atau Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), yang jauh lebih intensif, berdasarkan indeks tersebut.

Intensitas diskriminasi agama, sambungnya, dianggap lebih intensif dibandingkan dengan diskriminasi terhadap gender, misalnya soal Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender  (LGBT).

Fajar mencatat sejumlah kasus yang terjadi berkaitan dengan diskriminasi agama pada 2009-2014 di sejumlah provinsi. Di antaranya adalah kasus pembubaran pengajian Ahmadiyah di Jawa Tengah (2009); ruko yang disegel karena pemiliknya menjadi penganut Millah Abraham (2010); pengikut aliran sesat di Lombok Timur (2012);  penyerangan terhadap Nurul Amal di Lampung (2012); penolakan warga Kelurahan Bakunase, NTT terhadap warga Gafatar.

Selain adanya kasus, Fajar juga mencatat terdapat aturan yang diskriminatif di pelbagai wilayah. Di antaranya adalah kewajiban berbusana muslim dan muslimah di Sumatra Barat; Perda kewajiban membaca Al-Quran untuk siswa dan pengantin di Kabupaten Solok; serta larangan tentang aktivitas JAI.

Sedangkan di Kalimantan Selatan, UNDP juga mencatat adanya Perda tentang larangan membuka warung atau restoran pada saat bulan puasa; khatam Al-Quran bagi peserta didik dan pendidikan dasar di Kabupaten Banjar; serta tertib pakaian dinas.

"Sentimen-sentimen agama lebih kuat dibandingkan dengan sentimen etnis," kata Fajar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Fatkhul Maskur

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper